Cinta Pertama

2.2K 157 1
                                    

“Safa kapan pakai jilbab?” Bu Sarah tersenyum pada gadis yang sedang membantu membereskan toko. Rencananya hari ini teman-teman sekelas akan ke puncak, jadi sambil menunggu yang lain, Safa mampir ke toko sambil membantu Bu Sarah berberes. Banyak barang yang baru yang harus dirapikan. Beberapa hari terakhir Safa memang sering ke toko, sekedar membantu melayani pelanggan yang tidak seberapa.

Pertanyaan itu membuat Fajar Annisa di toko itu ikut menoleh, tertarik. Sementara yang ditanya cuma tersenyum. Pertanyaan sederhana yang sulit. “Belum, Bu.” Safa menggeleng.

“Insyaallah,” ralat Fajar, sembari sibuk mengangkut kardus berisi kain ke dalam.

“Mama tidak nanya kamu, Fajar.”

Annisa dan Safa terkikik mendengar perkataan Bu Sarah.

“Jawaban untuk Safa, Ma.” Fajar meletakkan kardus di lantai, melihat ke arah mamanya. “Coba tanya lagi, kali ini Safa harus jawab insyaallah.”

“Kapan memakai jilbab, Safa?” Ulangnya.

“Insyaallah,” jawab Safa pelan, mengikuti perintah Fajar.

“Nah, begitu. Kalau ‘belum’ tidak pasti kapan, tapi kalau insyaallah, artinya ‘akan’. Kamu sudah berjanji, lho.”

Safa garuk-garuk kepala. Bu Sarah dan Annisa hanya senyum-senyum saja.

Bu Sarah menyuruh Safa mengambil tas berisi kain-kain yang sudah dikemas di lantai atas. Safa bergegas menaiki anak tangga. Tas yang dimaksud sudah diangkatnya, sebelum kembali ke bawah, Safa tertarik ingin melihat-lihat. Terpesona melihat furniture yang terdapat di dalamnya. Bu Sarah sepertinya benar-benar berjiwa seni.

Foto-foto keluarga terpajang di dinding. Ada satu, dua, tiga, wah banyak sekali! Foto itu berurutan dari sejak Bu Sarah hanya berdua bersama suami, dan sampai foto terbaru yang sepertinya sudah lama juga. Papa, Mama dan Fajar berfoto bersama setelah farewell party SMA-nya. Setelah diperhatikan, Fajar terlihat berbeda sekali dengan Papanya. Dia tinggi, wajah lonjong, dan hidung mancung, sedangkan Papanya tidak begitu, malah gempal. Mamanya juga tidak mirip dengannya, kecuali satu. Mata mereka. Tapi Safa tidak yakin juga, mamanya ‘kan pakai kacamata.

Safa mengangkat bahu, lanjut menyelesaikan tugas.

Selesai membantu berberes, yah meski sedikit, Safa pamit untuk kembali ke sekolahnya. Matahari sudah semakin tinggi, ia akan memukul teman-temannya satu per satu jika belum juga siap untuk pergi.

“Rencana ke puncak batal. Semua gara-gara Syerin. Lama sekali berhias di cermin. Pakai luluran segala. Memangnya dia sangka akan ketemu cowok kece di hutan? Ketemuan sama tarzan mungkin.” Tika menggerutu.

Syerin langsung melempar Tika menggunakan sisir rambutnya.

Tika berusaha menahan amarah. Menarik nafas dalaaam sekali. Nyanyian yang dibawakan Tya pun ikut menyesuaikan, semakin kencang ritmenya.

Safa membalikkan badan, berjalan keluar. Tidak ingin ikut terlibat. Ia sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Gayanya pakai jilbab, tapi mulutnya kotor begitu! Muna!!” Sejauh apapun Safa melangkah, teriakan Syerin masih terdengar.

“Daripada gak pake jilbab, sekaligus bicaranya kasar? Dua kali lipat dong! Double Muna!”

Tiba-tiba lantunan lagu dari mulut Tya berhenti. “Muna itu siapa, ya?”

Tika dan Syerin serempak menatap tajam pada Tya.

Safa berjalan ke luar, tidak mau banyak ikut campur urusan mereka berdua. Fikiran Safa masih memutar memikirkan kalimat Fajar tadi. Memangnya apa benar kalau dia bilang insyaallah berarti sudah berjanji, begitu? Tapi dia ‘kan masih muda?

Meski saat ini belum pacaran, tetap saja Safa juga remaja. Bagaimana kalau orang yang disukainya tidak suka dia memakai jilbab? Bagaimana kalau nanti susah dapat pekerjaan? Bagaimana kalau dia dikucilkan teman-teman? Dan bagaimana kalau-kalau yang lain...

Sepintas Safa melihat Syerin yang keluar dari kamar kost-nya dengan langkah gusar, bahkan tidak mau menyapa dirinya. Sepertinya perang telah usai. Ia berniat kembali ke kamarnya, mencari ide untuk dilakukan di hari batal travelling ini.

“Jilbab?” Safa heran dengan keberadaan sehelai jilbab di tasnya. Punya siapa?

“Tik Tik! Aku mau tanya!” Safa menghampiri Tika yang sedang tidur di atas meja belajar.  “Ini kamu yang masukkan ke dalam tas?” Memperlihatkan jilbab tersebut. “Aduh, Tik. Bukannya sudah kubilang? Tidak usah diganti!”

“Apa sih, Saf? Aku sedang tidak mood nih! Aku sudah menerima hadiah itu dengan lapang dada. Jangan memperpanjang debat!” Tika kembali menelungkupkan wajahnya di atas meja.

“Jadi kamu yang kasih jilbab ini atau tidak?” Safa memastikan.

“Bukan!”

Lalu siapa? Syerin dan Nina tidak mungkin punya benda seperti ini. Tya? Di kepalanya cuma ada lagu. Ceca juga tidak mungkin. Safa teringat seseorang. Kak Annisa?

*

Annisa sedang duduk di bangku depan toko sambil membaca buku sebelum kehadiran Fajar yang membuatnya sedikit terkejut.

Lelaki tinggi itu duduk di sebelah Annisa. Gadis itu pun segera menutup buku dan hendak beranjak pergi.

“Tidak ada maksud apa-apa, cuma mau berbagi cerita sedikit, boleh?” pertanyaan Fajar membuat Annisa terhenti. Dia berfikir sejenak.

“Sedikiiit saja,” ucap Fajar lagi, meyakinkan.

Annisa akhirnya mengurungkan niatnya untuk pegi. Lagi pula tidak masalah cuma cerita sedikit. Apalagi dulu sewaktu SMA Fajar ‘kan memang jadi teman diskusinya di organisasi. Annisa agak menjauh, memberikan jarak antara mereka berdua. Kemudian duduk dengan tenang, bersiap mendengarkan.

“Cukup jadi pendengar yang baik,” ucap Fajar.

Annisa mengangguk. Dia melihat wajah Fajar yang tampak lebih serius.

Fajar menatap kosong ke depan, memulai ceritanya, “Aku sudah menemukannya. Seorang gadis yang tidak pernah mengingatku.”

Siapa? Annisa antusias ingin bertanya. Tapi urung, Fajar menyuruhnya cukup jadi pendengar.

“Dia gadis dengan wajah manis, tubuhnya tinggi langsing, matanya bulat, hidungnya kecil, dan bibirnya selalu tersenyum. Membuat orang-orang bahagia ketika melihatnya. Dia gadis yang ceria.”

Annisa mendengarkan dengan seksama, sembari berprasangka di dalam otaknya. Merasa gadis yang diceritakan Fajar itu adalah dirinya, ciri-cirinya hampir mirip.

“Bukan. Bukan kamu.” Fajar menyergah, masih memandang kosong ke depan, seperti tahu apa yang ada di fikiran Annisa, membuat gadis itu malu karena terlalu geer.

“Dia lima belas tahun, rambutnya masih terurai lebat, belum terbungkus kerudung. Dia punya satu titik tahi lalat di pipi kiri dan sebuah lesung pipi di kanan.”

Annisa menggigit bibir. Itu bukan dia. Ada gadis lain.

Fajar menatap Annisa. “Apa..., dia masih mengingatku? Setidaknya satu ingatan saja tentangku.”

Annisa memberanikan bertanya, dia sudah sangat penasaran. “Apa gadis itu...,” Annisa menelan ludah. “Cinta pertamamu?”

Fajar terdiam. Sikap itu sudah cukup untuk membuat Annisa tahu apa jawabannya.

Beberapa lama hanya membiarkan kebisingan orang-orang sekitar sebagai pengisi jeda cerita Fajar. Dia kembali menatap ke depan. “Sepertinya aku akan membuat teka-teki paling sulit untuknya. Tapi meski begitu, semoga saja dia bisa memecahkannya.”

Annisa mengalihkan pandangan, ikut menatap ke depan. Ada sesuatu yang aneh yang menyelimuti hatinya setelah pembicaraan ini. Annisa berusaha bersikap tenang meski sulit. “Insyaallah dia bisa.” Mata bulatnya berkaca-kaca.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang