Ruangan dengan interior klasik itu lengang. Menyisakan seorang wanita paruh baya dengan kacamatanya, memperhatikan beberapa lembar kertas. Duduk di sana sejak tadi siang hingga kini ketika matahari sudah menghilang dari pandangan. Di sampingnya sebuah dinding kaca, sehingga bisa melihat pergerakan kota di malam hari.
Wanita itu menghela nafas panjang, raut wajahnya terlihat seperti sebuah ketenangan yang dipaksakan. Tangannya bergegas membereskan beberapa dokumen itu ketika terdengar pijakan kaki di tangga. Itu anak yang sangat disayanginya, Fajar.
“Assalamu’alaikum!” Seperti biasa Fajar mengucapkan salam dengan penuh semangat, meski sebenarnya ia sudah lelah setelah seharian beraktifitas.
“Waalaikumsalam…,” jawab ibunya pelan. “Kamu dari mana?” Sebuah pertanyaan yang dillontarkan dengan ketus, menghentikan langkah kaki Fajar yang hendak masuk ke kamar.
“Yahh…, seperti biasa,”
“Main?”
“Kuliah, ke gym. Tapi setelah itu…, ya ke rumah teman dulu,” jawabnya nyengir.
“Berhenti bermain-main! Kuliah dengan sungguh-sungguh, kalau bisa sambil bekerja carilah pekerjaan apapun bentuknya. Kamu harus mandiri!” Begitu sahut mamanya sambil memalingkan wajah.
Fajar hanya diam. Tidak biasanya Mama berkata seperti itu.
“Kamu sudah besar, seharusnya tidak bergantung pada Mama terus…,” ucapnya lirih. Wanita paruh baya itu menahan air di balik kacamatanya.
Fajar mendatangi mamanya, bersimpuh di atas lututnya. Memegang tangan wanita itu, “Ada apa, Ma?” Tanya suara yang amat lembut itu.
Wanita itu memandang anaknya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sakit sekali. Kemudian air matanya berjatuhan. Meski tidak tahu apa yang dialami oleh mamanya, Fajar lantas memberikan pelukan menenangkan.
Wanita berkacamata itu pun menangis dalam pelukan anaknya.
*
Sepulang sekolah, Safa langsung berlari kencang ke rumah duka. Ia merasa sangat sedih dan terpukul mendengar berita itu, tapi ada rasa kesal juga karena Fajar tidak memberitahunya lebih awal dan hanya memberi kabar lewat SMS. Padahal Fajar tahu sendiri, Mama Sarah sudah dianggapnya orangtua sendiri, apalagi sepeninggal Ibu.
Rumah itu sudah lengang. Dengan masih berseragam putih abu-abu dan menyandang tas penuh buku, Safa berlari masuk ke dalam. Pelayat masih datang satu per satu, ada keluarga juga, tapi tidak seramai tadi pagi saat orang-orang berbondong-bondong mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Air mata gadis itu jatuh lagi, dia kehilangan orang penting dalam hidupnya lagi. Dalam waktu yang sangat singkat. Apalagi kali ini Safa bahkan tidak sempat melihat Mama Sarah untuk terakhir kali sebelum dikuburkan.
Gadis itu menemukan seorang lelaki di dalam kamar. Sendiri dan menangis. Ingin Safa marah kepada lelaki itu karena tidak memberitahunya, tapi dia juga tahu bahwa Fajar pasti sangat sedih.
Safa meletakkan tasnya di bawah. Mukanya yang kusam itu dialiri air mata. Kesedihannya membuncah saat melihat foto Mama Sarah yang terpajang besar di dinding. Tapi dia tidak ingin egois, dia bukan satu-satunya yang merasa sedih saat ini. Kesedihan Fajar pasti jauh lebih banyak darinya.
Ia hapus air matanya, beranjak mendekati lelaki yang saat ini sedang memunggunginya. Menepuk pundaknya lembut, mencoba memberikan ketenangan. Fajar menyandarkan kepalanya di bahu Safa, membuat jilbabnya basah oleh tetesan air mata kepedihan itu.
*
Satu hari yang kelam berlalu, hari yang dipenuhi isakan tangis, dan helaian nafas yang tercekat. Hari yang penuh dengan cerita-cerita masa lalu, yang kemudian berbuah tangisan lagi ketika mengingatnya. Hari ketika seluruh keluarga berkumpul, bersatu dalam kepedihan. Hari ketika Tuhan menagih janji manusia tanpa tawar-menawar.
Dan hebatnya, Fajar bisa melalui hari itu dengan baik.
Hari itu dia sedih, terpukul, dan menangis –bahkan menangis lebih dari pada orang lain. Tapi esok paginya, dia bangun dan mulai menata hatinya. Tidak perlu waktu lama untuknya berdamai dengan takdir. Dia bangun dan mulai membereskan semua yang tertinggal kemarin. Dia yang paling khusyu’ saat membacakan surah yasin bersama saat malam hari. Suaranya bergetar, tapi tegas. Karena ia tahu, air mata yang ia tumpahkan tidak ada artinya. Dia hanya bisa menghadiahkan bacaaan Alqur’an dan do’a untuk membantu mamanya. Hanya itu.
Safa yang menyaksikan itu merasa malu, dia tidak bisa setegar itu ketika peristiwa itu terjadi padanya beberapa waktu lalu. Bahkan hingga kini pun, ia masih terus menangis tiap malam, lupa bahwa ternyata do’a jauh lebih baik daripada hal sia-sia itu.
Setiap malam Safa rajin datang ke rumah duka untuk bertakziah, membaca surah yasin selama tujuh malam pertama. Begitu juga Annisa. Toko yang dulu dipenuhi pakaian gamis muslimah dan kerudung-kerudung, kini tersingkirkan. Ruangan itu kosong, dihamparkan tikar sebagai tempat duduk.
Safa duduk di sebelah Annisa, menyapanya dengan mengucap salam. Gadis yang lebih tua dua tahun darinya itu menjawab salam, namun sama sekali tidak menoleh padanya.
Baru saja duduk, Safa langsung dimintai tolong oleh saudara-saudara Mama Sarah untuk mengambil buku Yaasin di lantai atas. Safa menurut, lekas beranjak berdiri. Tak perlu bersusah payah, tumpukan buku Yaasin kecil sudah ada di depan mata, terletak di atas meja.
Sebelum turun, Safa menemukan pintu kamar Fajar terbuka. Melihat ada tumpukan foto-foto yang tergeletak di lantai, ia penasaran ingin melihat sebentar. Mumpung pemilik kamar sedang tidak di dalam.
Safa melihat foto itu satu per satu. Ada banyak cerita di dalamnya, kenangan keluarga itu saat jalan-jalan, dan acara-acara lain. Ia tertawa bersama kebahagiaan di dalam foto itu.
Selesai melihat-lihat sebentar foto-foto tersebut, Safa tertarik membuka salah satu laci, mencari foto lain. Namun betapa terkejutnya dia ketika menemukan sebuah foto keluarga di sana. Itu bukan keluarga Fajar, tapi...,
Safa menggosok matanya, tapi tidak ada perubahan. Dia tidak rabun atau pun sedang bermimpi. Melihat itu, dirinya menjadi semakin penasaran dengan sosok Fajar yang misterius. Dia mulai curiga.
Tiba-tiba, seorang laki-laki bertubuh tinggi sudah berdiri di depannya. Jantung Safa berdebar kencang. Fajar mencabut foto tersebut dari tangan Safa. Tatapannya tidaklah lembut seperti biasa, kali ini wajahnya dingin.
Fajar lekas meletakkan kembali foto tersebut pada tempatnya. “Keluar!” Sahut Fajar.
“Kamu..., sebenarnya ss..siapa?” Safa ragu-ragu bertanya.
“Keluar!” Perintah Fajar lagi, matanya menatap Safa tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...