Sebuah Berita

2K 153 3
                                    

Belum ada peningkatan dari teman-temannya, setelah apa yang disampaikan Safa sewaktu lingkaran kejujuran beberapa hari lalu. Namun dia tidak menyerah, setiap bertemu selalu saja ada ilmu yang dibaginya. Terserah dia mungkin akan dijuluki sok pintar, sok alim, atau sok-sok lainnya. Safa percaya bahwa batu keras sekalipun akan pecah oleh air, jika ditetesi terus-menerus.

Sudah menjadi agendanya setiap hari minggu untuk datang ke Toko Sarah. Bebeberapa bulan saling mengenal, Bu Sarah, Annisa, dan Fajar sudah seperti keluarganya. Ketika ia merindukan keluarganya di desa, hanya dengan bersama mereka sedikit dapat mengobati rasa rindunya.  Apalagi orang-orang di sini lebih heboh dan mengasyikkan.

Pemilik toko sudah seperti ibunya, sementara Fajar dan Annisa sudah seperti kakak-kakak sepupunya yang sering bermain di rumah waktu dulu. Hanya saja, ia tidak mendapatkan sosok Bapak di keluarga ini. Tapi tak mengapa. Setelah pulang nanti, ingin sekali ia menceritakan tentang keluarganya di sini pada Bapak. Ia pasti akan senang bila tahu putrinya punya orang yang menjaganya di perantauan.

Fajar akhir-akhir ini sudah mengalami peningkatan. Kali ini, tidak hanya congklak yang dimainkannya. Tapi juga gasing, dan tentu saja masih dengan filosofinya.

Fajar melempar gasingnya, dan kayu bulat dengan paku di bawahnya itu pun berputar-putar di lantai.

“Pernah dengar orang baik lebih cepat meninggal?” Lelaki itu menoleh melihat ke arah Safa.

Perempuan itu mengangguk. Ungkapan itu sudah sangat sering didengarnya.

“Gasing ini harus ditangkap sebelum benar-benar jatuh,” ujarnya ketika putaran gasing sudah agak melambat, mempersiapkan tali, lantas menangkapnya. “Allah akan memanggil hamba-Nya sebelum kebaikan-kebaikannya semakin pudar.”

Hm?

“Ada juga orang baik yang panjang umur, mungkin karena amalnya belum cukup. Allah punya waktu yang tepat untuk memanggil makhluk-Nya yang memiliki keinginan untuk dekat dengan Nya.”

Safa menatap Fajar yang masih memainkan gasing. Kali ini, dia tidak bisa mengerti.

Siangnya, Safa dan Annisa bersiap-siap untuk membuat kue. Bu Sarah mengizinkan mereka untuk istirahat menjaga toko sementara, dengan syarat kue yang dibuat harus bisa dimakan.

"Hah?" Annisa melongo, "namanya juga kue, Ma. Tentu saja bisa dimakan.”

Bu Sarah mengangkat bahu. "Kalau jadinya hitam, siapa yang mau makan?"

Annisa menghembuskan nafas sambil berkecak pinggang. Sepertinya Bu Sarah meragukan keahliannya. "Lihat saja nanti."

Annisa sudah berlalu keluar dari toko, meninggalkan Safa yang masih di toilet. Setelah ia sudah berjalan cukup jauh, barulah gadis itu menyadari kalau Annisa sudah pergi. Dia segera berlari kencang menyusul Annisa. Dia kan ingin ikut belanja. Safa terhenti. Bingung melihat simpangan. Lurus atau belok?

Sebuah sepeda berhenti di depannya. Fajar.

"Naik!" Fajar menunjuk bagian belakang sepedanya yang sekarang sudah ada tempat duduknya. Tanpa perlu pikir panjang, dia segera naik, tidak mau ketinggalan membeli bahan-bahan.

Dari jauh, punggung Annisa sudah terlihat. Safa semakin bersemangat, menyuruh Fajar mengayuh pedal sepeda lebih kencang.

"Nis!"

Annisa menoleh. Wajahnya makin cemberut. Meski selama ini ia bersikap cuek terhadap Fajar, tapi ia juga kesal melihat lelaki itu membonceng gadis lain, hm meski itu Safa.

Safa turun dari sepeda. Berterimakasih pada Fajar. "Kak Annisa kok main tinggal-tinggalan, sih? Aku kan juga mau ikut belanja."

Annisa hanya memperlihatkan wajah cemberutnya.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang