Sampai Terbawa Mimpi

2.1K 155 3
                                    

Meski mereka berbeda, maksudnya pandangan mereka berbeda, Safa dan Tika sudah berhijab, sementara Syerin dan Nina masih dengan gaya modis sok seksi, pertemanan mereka masih tetap terjalin. Yah, walau Tika dan Syerin masih saja sering bertengkar. Mereka masih melaksanakan kebiasaan lama, berkumpul di kantin. Biasanya mereka akan membeli makanan yang berbeda, kemudian dibagi-bagi, yang mau cicip boleh, tapi kali ini Safa tidak rela membagi baksonya, dia sudah terlanjur lapar setengah mati.

Tapi toh tidak ada yang mau cicip bakso Safa, baksonya manis.

Kantin ramai seperti biasa, anak-anak pencuri perhatian ada dimana-mana. Sementara yang lugu-lugu, kebayakan di kelas, bawa bekal sendiri. Kebiasaan yang baik, lebih steril.

“Astaghfirullah, Syerin! Ini apa? Kutu rambut kamu?!” Tika berteriak sambil menunjuk hewan kecil di sendok Syerin. Teriakan itu membuat semua orang menoleh.Wajah Syerin pun segera memerah.

“Makanya pakai penutup rambut kalau makan.” Tika tidak memperdulikan tatapan permusuhan dari Syerin. Lantas menyuap nasi goreng miliknya.

“Itu semut, Tika.” Gigi Syerin bergemeletuk, menahan amarah. Safa tidak ingin  peduli, pertengkaran dimulai. Teng!

Safa tidak mendengar lagi, mengikuti cara Tya. Menikmati bakso sambil bersenandung.

“Kalau geli pergi saja sana!”

“Aku juga mau pergi.”

“Ya sudah, pergi!”

Tika pun berdiri dari kursi, pergi dengan wajah ketus. Bahkan sampai lupa membayar nasi gorengnya. Dasar Tika.

Syerin berkecak pinggang. Masih mengumpat berkali-kali. Sambil masih bernyanyi, Tya menuangkan air putih, dan memberikannya pada Syerin. Syerin lantas meminunya sampai habis dalam satu tegukan, kemudian mulai mengatur nafas.

Safa menarik kursi, mempersilahkan Syerin duduk. “Kalau marah berdiri, duduklah, kalau masih belum tenang, maka berbaring. Begitu caranya.” Ungkap Safa. Dia sudah lupa darimana dia mendengar kata-kata itu.

Sehabis dari kantin, Nina meminta Tya menemaninya ke toilet. Syerin sibuk berbincang dengan pacarnya di telefon. Sementara sedang sendiri, Safa memerhatikan siswa-siswi yang beralu-lalang. Kali ini mata Safa tidak kuasa menahan rasa penasaran, memandang punggung lelaki itu.

Syerin menyikut bahu Safa, tersenyum-senyum melihat Safa yang tidak biasanya. Syerin tahu maksudnya.

“Saf,”

Safa akhirnya menoleh.

“Sebenarnya, tadi aku ingin mengatakan ini, tapi karena Tika membuat masalah lagi, jadi lupa deh.”

“Bilang apa?”

“Reynald bilang ke aku, kalau dia suka kamu!” Bisik Syerin, kemudian tersenyum-senyum.

Reynald? Nama yang sudah lama dia lupakan. Iya, dia pernah cerita ke teman-temannya saat pertama masuk, dia suka Reynald, cinta pada pandangan pertama katanya. Tapi sudah dikuburnya dalam-dalam, tidak berani berharap terlalu tinggi, lagi pula tidak ada respon dari lelaki itu. Dan akhir-akhir ini Safa tidak sempat berikir tentang hal itu, ia sibuk memperbaiki diri. Tapi sekarang..,

“Kamu bilang apa, Syerin?”

“Reynald suka kamu, katanya.”

Safa menelan ludah. Jantungnya berdebar-debar kencang. Ya Allah, bagaimana ini? Dia belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Benarkah begitu?

“Sudahlah senyum saja,” ungkap Syerin melihat Safa yang berusaha menahan senyumnya. Lagi pula sudah ketahuan, Safa tersenyum lebar, mukanya memerah karena malu. Aduh..., Reynald suka Safa? Yang benar saja....,

Safa bercerita kepada Ceca, meskipun dia tahu tidak akan dipedulikan. Dia juga bercerita pada Tika yang cuma merespon dengan senyuman aneh. Juga pada ke Tya dan dijawab dengan nyanyian romantis membuatnya serasa terbang lebih tinggi. Kemudian juga pada kak Annisa.

“Iya. Lantas? Mau apa? Pacaran?”

Pertanyaan dari Annisa menanggapi ceritanya membuat senyum yang diumbarnya seharian luntur sebentar. Safa mulai berfikir, pacaran? Dalam islam bukannya tidak ada pacaran? Safa menatap Annisa dengan ekspres bingung. Benar juga, mau apa?

Annisa cuma tersenyum sekilas, masuk ke dalam toko hendak mengurus pembeli yang berdatangan. Sebelumnya, dia berpapasan dengan Fajar di pintu, memberi tahu Fajar. “Adekmu mau pacaran tuh.”

Safa memanyunkan bibir. Kenapa juga Annisa mengumbarnya pada Bang Fajar.

Fajar tertawa pada Safa “Sudah besar kamu, ya?”

Safa memasang ekspresi kesal. Tapi kemudian dia punya ide. Menyuruh Fajar duduk di bangku sebelah, dia ingin bertanya sesuatu.

Meski sedikit bingung, Fajar mengikuti kemauan seorang gadis yang sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu.

“Kalau Abang suka sama seseorang, bilangnya langsung ke orangnya atau lewat orang lain?”

“Kayak pesan berantai gitu?” Tanya Fajar.

Eh? Safa garuk-garuk.

“Memangnya dia begitu?”

Safa menelan ludah, kok dia merasa kalah bicara sama Fajar.

“Mungkin saja awalnya dia nyuruh orang lain bilang kalau dia kesal sama Safa, tapi karena pesannya berantai, sampai orang terakhir malah berubah jadi dia suka sama Safa. Bisa jadi, kan?” Fajar menjawab sembarangan.

Safa merasa memang seharusnya dia tidak mengajak Fajar berbincang. Jawabannya ngawur.

Fajar mengumbar senyum. “Kalau lelaki sejati itu, datang ke wali, lantas menikahi.” Fajar berkata sok bijak seolah sudah berpengalaman.

“Jauh sekali imajinasinya! Kan masih muda!”

Fajar mengangkat bahu. “Jadi, kamu sekarang dilema tentang apa? Antara pacaran atau tidak?”

Safa mengangguk, sambil menopang dagu. “Memangnya kenapa tidak boleh pacaran?”

“Baca buku yang Abang kasih ke Safa,  halaman 100. Pergi dulu, ya.”

Sekejap Fajar sudah menghilang dari pandangan mata.

*

Sampai terbawa mimpi. Semalaman Safa membayangkan Reynald. Buku bersampul biru yang biasanya sering dia baca sebelum tidur, tak tersentuh malam ini. Safa yang mulai beberapa minggu lalu tidur dengan posisi yang baik secara anjuran Rasulullah, malam ini posisi tidurnya sudah tidak beraturan lagi.

Safa hari itu bermain seharian dengan Reynald. Kemana-mana berdua, bermain kejar-kejaran. Saling memberi bunga dan coklat, makan es, dan serangkaian adegan yang dianggapnya romantis bersama Reynald. Seharian itu, dia senang sekali.

“Safa Nurul, aku cinta sama kamu.”

Safa mengangguk. “Aku juga.”

Mereka berpelukan.

Astaghfirullah! Safa terbangun dengan jantung yang berdebar-debar. Safa baru ingat, dia lupa membaca do’a tidur, sehingga setan mengganggunya dan membuatnya memimpikan hal yang  aneh. Safa melihat jam yang ternyata ketika itu baru jam 3 pagi. Dia pergi mengambil wudhu dan sholat tahajjud, memohon dihindarkan dari fikiran negatif, dan perbuatan maksiat. Safa juga membaca Al-Qur’an beberapa halaman. Waktu yang tersisa sebelum pagi datang dimanfaatkannya membaca buku yang diberi oleh Fajar. Halaman 100.

Cinta itu suci. Jangan dikotori dengan adegan pegang-pegangan yang cuma transfer bakteri.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang