Buku Bersampul Biru

2K 168 1
                                    

Sore hari, Safa kembali ke toko. Baru beberapa hari libur, dia sudah merasa rindu pada tempat itu. Bertemu Annisa di depan toko. Mereka pun duduk bersama di sebuah bangku di sana, sembari menikmati segarnya es krim.

"Kak, boleh ceritakan waktu Kakak memutuskan berhijab?" Safa menatap mata Annisa serius.

Wajah Annisa seketika bersemu merah, terlihat sekali karena kulitnya yang putih. Safa mengernyitkan dahi. Memangnya ada apa?

"Kan sudah jelas tuntunan islam? Butuh alasan apalagi? Kamu sudah pernah tanya, kan?" Annisa menjilat es-nya lagi, menjawab santai.

Safa butuh jawaban lain. Yang lebih khusus.

Demi melihat wajah ingin tahu Safa, Annisa berhenti menjilat es krimnya. Wajahnya berubah merah lagi. Ah, padahal dia tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun. Annisa menimang-nimang.

"Hmmm.... sebenarnya, itu karena Fajar.”

Bang Fajar? Safa mendelik.

Annisa mengangguk. Suasana sore hari sepi, waktu yang pas untuk bercerita. Annisa menarik nafas. "Kakak dan Bang Fajar dulu di SMA yang sama. SMA Manuangsa Muda juga. Dia senior kakak. Sejak pertama masuk SMA, ikut MOS, memang terlihat jelas Bang Fajar memberi perhatian lebih ke Kakak. Bukannua geer ya, tapi memang begitu kenyataannya. Semakin lama kita semakin dekat, tepatnya Bang Fajar terus ngejar-ngejar Kakak."

"Terus sikap Kakak?" Potong Safa, ingin tahu kelanjutannya.

"Ya, siapa sih yang tidak senang dikejar cowok populer sekolah? Apalagi Bang Fajar orangnya baik, dan..., ganteng." Wajah Fajar terlintas sejenak di kepalanya, ah senyum itu!

"Satu tahun, bahkan belum genap, Fajar sudah harus pergi. Sebelumnya dia terus bilang ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak kunjung tersampaikan. Sampai hari perpisahan sekolah, ehm, malam sebelumnya Kakak menangis harus kehilangan Bang Fajar. Dia mengatakan sesuatu itu selesai acara. Ungkapan cinta, itu perkiraan Kakak. Maka kakak sudah mempersiapkan diri, kita mungkin harus LDR. Tapi ternyata dia hanya berpesan. Kakak ingat sekali pesannya.”

Memori Annisa memutar film lama itu.

"Aku mau minta sesuatu dari kamu boleh?”

Annisa bingung, tapi kemudian mengangguk.

“Permintaannya banyak, tapi."

Annisa mengangguk lagi. Apapun itu.

"Jaga diri, ya. Belajar yang rajin, makan teratur, banyak istirahat, jangan cepat mengeluh, rajin ibadah, baca Al-Qur'an, dan satu lagi yang paling penting.” Fajar menatap mata Annisa dalam. Angin menggoyangkan rambut perempuan itu. “Mulai besok, aku ingin lihat Annisa pakai jilbab.”

“Tapi 'kan Bang Fajar besok tidak lihat lagi.”

Fajar tersenyum. “Abang lulus, Nis, bukan pergi. Masih bisa lihat Annisa kapan-kapan.”

Kembali ke masa kini bersama Safa. Wajah Annisa masih merah, tersenyum.

Safa mendengar ada yang janggal. Bukannya Kak Annisa selama ini selalu menghindar dan memperlihatkan perasaan tidak sukanya pada Fajar?

"Tapi bukannya karena manusia, Kakak berjilbab, itu tidak ikhlas namanya. Kakak memang sudah cari tahu tentang itu sebelumnya. Hanya saja karena Bang Fajar sudah minta begitu, langsung sekaligus jadi motivasi. Kakak pakai jilbab pakai ilmu dan hati. Kakak tidak mau cuma ikut-ikutan. Satu yang harus kamu tahu. Wanita yang pakai jilbab itu pasti dihargai.”

Safa mengangguk-angguk. "Tapi kan...,"

"Sudah..., jangan banyak tapi-tapi!"

Safa tiba-tiba terkejut, bukan karena perkataan Kak Annisa, tapi itu Bang Fajar! Annisa ikut terkejut, sejak kapan dia di sana? Wajahnya langsung memerah seketika, berharap jangan sampai dia mendengar ceritanya tadi, itu kan rahasia...,

"Sejak kapan kamu di situ?" Tanya Annisa ketus. Dia mulai pura-pura dingin lagi. Panggilannya berubah lagi, tadi Bang Fajar..., sekarang 'kamu' sebenarnya ada apa? Safa jadi tertarik dengan kisah cinta Kak Annisa dan Bang Fajar. Agak unik, seperti nonton drama komedi romantis gitu. Hehe.

"Barusan."

Annisa mengelus dada. Safa terkekeh melihat ekspresinya. Tadi terlihat sekali berbunga-bunga, sekarang khawatir bunganya dilihat orang.

Annisa merasakan ada yang basah di bajunya. Astaga! Saking asyiknya bercerita, dia sampai lupa tentang es krimnya, sekarang sudah meleleh. Safa tertawa meledek.

Annisa masuk untuk mencuci bajunya yang kotor karena es.

Safa memerhatikan Fajar yang sedang berdiri sambil membuka sebuah buku bersampul biru. Safa penasaran.

"Itu apa, Bang?" Safa menunjuk sebuah buku itu.

Fajar memberikan Safa memegangnya, membiarkannya membaca sendiri.

“How To Be A True Muslim.” Safa membaca judulnya, tertarik membuka lebih jauh. Dari sampulnya saja sudah terlihat keren, apalagi isinya.

“Tadi cerita apa sama Kak Annisa?” Fajar bertanya.

Safa menutup kembali buku yang dipegangnya. “Tentang jilbab.”

“Jadi, kapan mau pakai jilbab?”

Safa tersenyum malu. “Besok-besok saja.”

“Yakin masih hidup besok?”

Eh? Ekspresi Safa bingung.

“Kalau bisa menjamin, ya silahkan, pakai satu jam sebelum sakratul maut saja.”

Safa menunduk.

“Kalau Abang sendiri sebagai saudara seiman, tidak akan memaksa kamu untuk pakai jilbab.”

“Kenapa? Bukannya hukumnya wajib, ya?”

“Iya, wajib. Tapi melakukan sesuatu harus dengan ilmu. Istri-istri nabi pun tidak pakai jilbab sebelum ayat tentang jilbab turun. Maksudnya, kamu harus pahami makna jilbab dulu, ilmunya dulu, baru praktek. Jangan ikut-ikutan, jilbab itu tidak akan membawa kebaikan kalau tidak memahami maknanya.”

Safa jadi makin bingung. Jadi dia menyuruh pakai jilbab atau tidak, sih sebenarnya?

Fajar tertawa renyah melihat ekspresi bingung gadis itu. Lelaki itu menggosok-gosok rambut di pucuk kepala Safa.

Annisa yang baru selesai dari toilet melihat mereka lewat pintu kaca. Dia jadi teringat kata-kata Fajar beberapa hari lalu. “Dia gadis dengan wajah manis, tubuhnya tinggi langsing, matanya bulat, hidungnya kecil, dan bibirnya selalu tersenyum. Membuat orang-orang bahagia ketika melihatnya. Dia gadis yang ceria. Dia lima belas tahun, rambutnya masih terurai lebat, belum terbungkus kerudung. Dia punya satu titik tahi lalat di pipi kiri dan sebuhah lesung pipi di kanan.”

Annisa menghela nafas. Dia sekarang tahu siapa gadis itu.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang