Adzan Zhuhur berkumandang, menggema di setiap sudut kota. Terdengar, tapi sekaligus juga tidak. Bagi yang menantikannya, lantunan merdu itu akan mengusik dada, tidak sabar melakukan ibadah, berkomunikasi dengan Tuhan. Tapi bagi sebagian yang lain, meski adzan dibunyikan dengan keras, mereka seolah tak mendengar, masih sibuk dengan urusan masing-masing.
Kumandang suara adzan tentu saja juga terdengar di SMA Manuangsa Muda. Kemarin, Safa masih sama dengan anak-anak lain yang masih sibuk dengan urusan dunia meski waktu sholat telah masuk. Tapi hari ini, Safa sudah berubah. Sejak pagi tadi, sudah mulai melaksanakan shubuh tepat waktu dan pergi ke sekolah dengan tampilan baru, berhijab. Maka siang ini pun masih sama, dia pergi sholat dan mengajak yang lain juga ikut sholat.
Tika yang duduk di sebelah Safa, sudah siap memegang mukenanya, tersenyum bahagia melihat perubahan Safa.
“Teman-teman! Sholat yuk!” Ajak Tika berdiri di depan kelas. Hening, seolah tak mendengar apa-apa. Hanya ada satu-dua yang menoleh, kemudian menatap kiri-kanan, ikut-ikutan pura-pura tidak mendengar.
Berbagai alasan mereka jumpai.
“Sibuk, Saf.” Sambil menghela nafas, membuat garis kotak-kotak di buku matematika. Eh?Buku matematika sudah ada kotaknya, bukan?
“Di rumah saja, nanti. ‘kan jarak rumahku dan sekolah tidak terlalu jauh.”
Ada juga yang menggeleng lemas, sedang kena galau tingkat akut.
Safa sepertinya menaruh harapan pada seorang siswi di kelas untuk ikut sholat. Dia tadi yang menoleh saat mendengar ajakan Tika. “Sholat yuk!”
“Ehm. Lagi halangan, Saf.”
Safa mengangkat bahu. Mudah-mudahan dia tidak berbohong. Alhasil, dari satu kelas yang berisi tiga puluh murid, mereka hanya berdua saja yang pergi sholat.
Letak Musholla ada di ujung, dan dibuat seadanya. Berbeda dengan ruangan lain yang dibuat serba mewah. Meski begitu, Musholla sekolah cukup luas. Muat untuk dua sampai tiga kelas atau sekitar 60 orang sholat berjamaah bersama-sama. Tapi, yang mereka lihat tidak lebih setengah bagian musholla yang terisi. Islam seperti minoritas disaat seharusnya mereka mayoritas di data KTP.
Tidak mau pedulikan banyak hal, Safa lantas sholat dengan khusyu’, berdo’a agar istiqamah. Untuk pertama kalinya, dia sangat meresapi sholatnya. Bahkan meneteskan air mata saat memohon ampun atas segala perbuatannya di masa jahilyah dulu.
*
Sejak pagi hingga siang, Safa memang tidak menerima cobaan yang berarti dari keputusannya untuk berubah. Tidak ada yang terlalu peduli dengan perubahannya, mungkin karena mereka sudah menduga hal itu setelah melihat Safa yang mati-matian membela Tika tentang keputusan jilbabnya beberapa waktu lalu. Tapi siang ini, Safa mulai merasakannya. Diskriminasi.
Istirahat, teman-teman yang biasanya duduk bersama-sama Safa kini menjauh, mencari tempat nongkrong sendiri. Jelas dia merasakan diskriminasi ini. Alasan mereka menjauhi Safa masih sama dengan alasan tidak setuju dengan jilbab Tika beberapa waktu lalu. Mereka menganggap Safa belum pantas untuk pakai jilbab. Safa cuma menjawab dalam hati, memangnya seberapa pantas diri mereka untuk menilai orang lain? Apa mereka Tuhan, atau salah satu utusan-Nya yang mulia? Setidaknya mereka bisa menghargai usahanya untuk berubah itu sudah cukup.
Safa tidak mengerti betapa bencinya orang-orang terhadapnya. Masih diizinkan ikut latihan malah tidak lebih baik daripada tidak latihan sama sekali. Tidak ada yang mengoper bola padanya. Dan ketika dia membuat kesalahan sedikit, yang biasanya ditoleransi dan terus diberi semangat, kali ini dikatai habis-habisan.
Dia kira tinggal memasangkan jilbab di kepala semuanya selesai. Tapi banyak resiko yang ditanggungnya. Teman jadi musuh. Sedikit membingungkan ketika itu terjadi. Memangnya dia salah apa? Berjilbab, tidak mengganggu mereka bukan?
Gadis yang cukup temperamental itu sebenarnya ingin sekali berteriak marah. Tapi dia berusaha bersabar, kalau sikapnya masih sama seperti dulu. Untuk apa dia berhijab? Tapi dia ingin sekali melakukan ini. Sekali saja sebelum keluar dari klub.
Dengan tenaga penuh, ia melempar bola voli kepada segerombolan anak-anak yang duduk membicarakannya. Membuat mereka menjerit. Salah satu dari mereka tepat sasaran. Sedangkan Safa sudah berjalan membelakangi mereka. Sampai serangan berikutnya datang. Tepat mengenai punggunya. Sehingga membuat bajunya kotor oleh debu. Safa berbalik, mengambil lagi bolanya. Mengambil ancang-ancang, bersiap melempar lagi. Tapi urung ketika melihat Pembina klub voli yang tiba-tba datang. Safa hanya melempar kencang ke tanah. Kemudian melangkahkan kaki, lekas pergi.
Safa duduk di kelas. Setiap anak yang datang memperhatikannya.
“Cie yang pakai jilbab!!!”
“Sok Alim!”
“Agama kok dipermainkan?”
Benar kata Annisa. Jilbab menahan diri kita untuk melakukan maksiat. Safa sebenarnya ingin sekali berdebat dengan mereka, memaki-maki, berteriak meminta kejelasan maksud mereka mengatainya itu. Mempermainkan agama bagaimana, coba?
Wajah Safa sudah memerah dan memanas. Hatinya sedang tidak baik.
“Dasar jahannam kalian semua!”
Safa sudah berlari menuju WC dengan perasaan yang kesal sekali. Menelpon Syerin.
“Curhat saja sama anak rohis, Saf.” Sambungan diputus.
Hhh…., benar-benar melelahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...