Teman Jadi Musuh, Musuh Jadi Teman

2K 145 0
                                    

Ruangan yang selalu sepi meski ramai adalah perpustakaan. Siang ini daripada tidak ada kerjaan, -dia sudah keluar dari klub voli- Safa ke perpustakaan saja. Berharap menemukan bacaan yang dapat menenangkan hati. Tapi tetap saja, dia cuma membolak-balik halaman buku. Membaca sekilas, kemudian masuk ke halaman selanjutnya.

Tiba-tiba seorang siswi lain duduk di sebelahnya, berbisik, "bosan, ya?"

Safa terperangah. Sedikit kikuk, tidak biasanya Natasha menyapanya.

Safa mencoret kertas, menuliskan sesuatu. "Apa bacaan yang bisa menenangkan?"

Gadis bernama Natasha itu menjawab dengan juga ikut menuliskan di kertas. "Al-Qur'an,” tulisnya dengan huruf Arab.

Meski bacaan Al-qur’annya masih terbata-bata, Safa tetap bisa membaca tulisan itu. Benar juga. Kenapa baru ingat sekarang, ya? Safa lantas bersalaman dengan Natasha, dan segera meletekakan buku itu di raknya kembali. Segera hendak berlari menuju musholla.

"Safa!" Natasha tidak sengaja berteriak memanggil Safa. Membuat siswa-siswi yang lain di perpustakaan menoleh sambil memasang tampang kesal.

Safa menghentikan langkah, membalikkan badan ke belakang. Natasha mendekati Safa, berbisik, "mau kemana?"

Safa menjawab juga dengan berbisik, "Baca Qur'an."

“Ayo, sama-sama.”

Safa mengangguk antusias.

Mereka mengambil wudhu, sholat sunnah dua rakaat, kemudian bersama-sama memulai membuka Al-Qur'an, membacanya. Safa menghitung, sudah berapa lama dia tidak membuka Al-Qurannya? Seingatnya sejak masuk ke SMA Manuangsa Muda, belum pernah sama sekali.

Safa terkesima ketika mendengar lantunan bacaan Natasha. Merduuuuu..., sekali. Ia merasa malu ketika gilirannya membaca. Sulit sekali menyebut huruf per hurufnya, terbata-bata. Natasha banyak membetulkan bacaannya.

Seusai membaca Al-Quran bersama meski sedikit, Safa bertekad akan memperbaiki bacannya. Sehingga terdengar merdu. Dia ingin.

"Safa kok tidak ikut latihan voli?" Tanya Natasha ketika melihat klub voli yang sedang latihan.

"Sudah berhenti, Nat."

"Kenapa?"

Safa menggeleng, sepertinya tidak perlu menjelaskan.

"Padahal aku suka sekali melihat Safa main. Kamu berbakat."

Safa tahu, itu cuma pujian. Mana pernah Natasha melihatnya main?

Sambil berjalan menuju kelas mereka yang bersebelahan, Safa dan Natasha berjalan bersisian. Jilbab Natasha jauh lebih panjang daripada Safa. Meski begitu, kerudung Safa sudah tergolong syar’i. Menutup kepala sampai dada, tidak tipis, tidak transparan, dan tidak membentuk lekuk tubuh.

“Natasha kenapa tidak tanya tentang jilbab aku?” Mereka terus melangkah pelan.

Natasha tersenyum. “Daripada tanya kenapa pakai jilbab, lebih baik tanya kenapa tidak pakai jilbab?”

Safa mengangguk, benar juga. Jilbab bukanlah suatu hal yang aneh atau bagaimana. Para ulama sudah sepakat kalau jilbab itu identitas muslimah.

Mereka sudah hampir sampai di kelas masing-masing. Sebelum berpisah, Natasha mengatakan sesuatu. “Jangan berhenti sampai di penampilan saja, ya, Saf. Perdalam juga ilmu yang lain.”

Safa mengangguk, berjalan pergi. Hatinya merasa damai berinteraksi dengan orang sholehah. Padahal dulu Safa sangat tidak suka dengan Natasha yang sangat islami, entah kenapa. Kini dia harus mengakui, bertahun-tahun persahabatannya dengan Syerin, Nina, Tika, dan Tya, belum pernah ada momen yang se-mengesankan pertemuannya dengan Natasha hari ini. Safa memang bisa tertawa bersama mereka, tapi mereka tidak pernah bisa menangis bersama.

Safa bertemu dengan Syerin saat berjalan menuju kelas. Syerin melambaikan tangan, menyapa.

“Hei, Saf!” Dia menatap Safa dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Padahal rambut kamu bagus sekali. Tapi karena kamu maunya begini juga tidak apa-apa. Setiap orang punya style-nya masing-masing.”

Safa senang Syerin mau menghargai keputusannya, tapi kurang setuju jika Syerin menganggap tampilannya ini adalah style-nya, karena seharusnya jilbab adalah gaya setiap muslimah.

“Kamu bukannya menjauhi aku karena jilbab ini?”

“Kenapa? Bukannya Tika juga begitu? Dan kita tetap sama-sama, kan?”

“Lalu kemarin saat katu telfon, kenapa jawabnya begitu?”

Syerin diam sejenak, mengingat-ingat. “Oooh..., saat itu aku sedang ada urusan dengan pacarku.”

“Darimana lagi kalian jalan-jalan?”

“Taman Kota malam-malam indah sekali, Saf!” Syerin antusias.

“Taman Kota? Malam”

“Nina nantang first kiss sama pacar. Malam itu langsung ehm.” Syerin tersenyum-senyum.

“Astaghfirullah!” Safa langsung beristighfar, entah sejak kapan dia mempunyai kebiasaan istighfar ketika mendengar kabar buruk.

“Kamu juga harus coba,” bisik Syerin, “sama Reynald.”

Safa bergidik ngeri.

*

Seorang siswi dengan masih berseragam putih abu-abu berlari masuk menuju WC saat jam pulang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya kering. Dia sudah lama merasakan ada yang aneh di perutnya. Apakah mungkin terkena ambaian? Dia berusaha mengeluarkan kotroan dari anusnya. Namun  yang mengucur adalah darah merah segar. Roknya sudah kotor terkena cairan tersebut.

Sekolah sudah sepi. Karena jam juga sudah menunjuk angka 4 sore. Sudah satu jam gadis itu berada di WC. Dia memegang apapun yang bisa dipegang. Keringatnya bercucuran. Mengeram keras.

Dan seorang bayi telah lahir dari rahimnya.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang