Taman Maksiat

2.1K 148 0
                                    

Cahaya matahari sebenarnya sangat menyengat, tapi tidak terlalu terasa karena di sana ada banyak pohon kayu dengan daun lebat. Safa dan teman-teman asyik duduk di bawah rindang pepohonan di taman kota. Angin sesekali berhembus, membuat dedaunan kering terlihat seperti menari-nari kesana-kemari. Kelima cewek itu sibuk bercanda di sana, sambil duduk menunggu seseorang. Mereka sebenarnya diberi tugas fotografi oleh guru mereka, jadi mereka memilih tempat ini sebagai objek foto. Sebelumnya Safa sudah meminta Fajar untuk datang dan mengajari mereka fotografi. Sambil ingin mengenalkan Fajar pada teman-temannya.

Safa belum banyak bercerita tentang Fajar pada sahabat-sahabatnya itu, karena memang dia merasa hubungan mereka masih tidak jelas untuk bisa diceritakan.

“Seberapa hebatnya sih orang itu, Saf? Aku akan minta ganti rugi untuk waktuku yang terbuang percuma karena menunggu dia.” Tika menggerutu.

Syerin mengambil cermin di dalam tas, merapikan rambut merahnya. Nina dan Tya tidur-tiduran di atas rerumputan, bosan menunggu. Sementara itu Safa sejak tadi menelfon nomor hape Fajar, tapi tidak ada jawaban.

Tika mematahkan ranting pohon dengan sadis. “Sebenarnya dia niat datang, tidak?!”

“Sabar, Tik.”

Lama mereka menunggu, akhirnya Fajar datang sambil membawa tas kamera yang tersandar di bahu kirinya. Tika, Nina, dan Syerin seketika langsung melongo melihat lelaki yang tengah berjalan ke arah mereka itu. Mereka menatap sosok lelaki tinggi, tampan, dan keren itu tanpa berkedip. Dalam pandangan mata mereka seperti sedang menatap pangeran berkuda yang datang dengan gagah.

Tya menyesuaikan lagunya, dia bernyanyi lagu penyambutan kerajaan. Syerin dan Nina hampir pingsan ketika melihat lelaki itu sampai di depan mereka sambil tersenyum ramah.

Nina menyikut lengan Safa, berbisik, “Kamu yakin ini yang kamu bilang lelaki aneh itu?”

Safa mengangkat bahu, sejak awal pertemuan mereka hingga sekarang Safa masih menganggap Fajar itu lelaki yang aneh. Dia tiba-tiba saja masuk dalam kehidupannya, dan ikut campur urusannya. Yah..., meski Safa merasa tidak masalah dengan hal itu.

“Aku jadi nyesal mencacinya sejak tadi,” Tika ikut berbisik pada Safa.

Safa terkikik. Tika yang paling cerewet bilang Fajar lelet, dan lain-lain. “Kalau begini, aku rela menunggu sehari semalam, Saf.” Tambahnya.

“Bertahun-tahun pun sanggup!” Nina berceloteh.

Sementara itu Syerin mengambil kaca, sibuk memperbaiki make-up dan penampilannya. Memberikan senyum terbaik pada Fajar, tapi itu malah semakin membuatnya tampak aneh. Fajar balas tersenyum ramah, lekas mengalihkan pandangannya pada Safa.

“Maaf telat, tadi sedang ada urusan sama Annisa.”

Safa melihat teman-temannya yang memasang wajah penuh harap. Otak jahilnya mulai bekerja.

“Gimana Bang? Hubungannya sama Kak Annisa berjalan baik? Kapan ke pelaminannya?” Safa melirik wajah-wajah yang kini berubah bingung itu.

Fajar tampak tersipu. “Do’akan saja, Dek.”

Mendengar itu, hati Tika, Nina, Syerin, dan Tya langsung hancur berkeping-keping. Wajah mereka seketika berubah muram. Awan putih cerah di fikiran mereka berganti jadi awan hitam yang membawa badai. Annisa? Pelaminan? Maksudnya?

“Gimana, Dek? Kita mulai sekarang saja?”

Safa mengangguk, berdiri dari duduknya, berjalan di belakang Fajar. Sementara teman-temannya diam tidak bergerak dari duduknya, masih tidak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar.

*

Fajar mulai perlahan mengajarkan tentang fungsi fitur-fitur pada kamera sambil melakukan praktek mengambil gambar. Meski Pemandangan di Taman Kota sangat indah, Fajar jarang melakukan fotografinya di sana. Karena ketika sore hari tiba, taman ini jadi tempat orang-orang berpacaran, karena itu Fajar memberi nama sebagai taman maksiat. Beberapa ‘kecelakaan’ yang melibatkan dua insan yang saling mencintai itu beberapa kali pernah terjadi di sana.

“Kan enak kalau tidak pacaran, bisa melakukan kegiatan-kegitan positif, seperti ini.” Fajar mengklik kameranya, bergumam pada Safa. Sengaja menyindir teman-teman Safa.

“Iya, tapi kegiatan positifnya kan lebih menyenangkan sama pacar?” Tiba-tiba saja Syerin nyambung. Tika dan Safa menoleh. Tya masih sibuk bersenandung.

Syerin mendekati Safa, mengambil kamera yang dipegangnya. Melihat gambar yang baru diambilnya barusan. Sepasang burung putih. “Kenapa kamu mengambil gambar ini?” Mata dengan eyeliner tebal itu menatap Safa.

Safa garuk-garuk kepala. “Yahh..., karena..., indah.”

Syerin mengangguk. “Benarkan? Berpasangan itu indah?”

“Indah? Pacaran ala binatang?” Fajar bergumam ketus.

Lima sekawan itu terkejut mendengar ujaran Fajar. Sementara itu Fajar lanjut memotret objek yang lain.

Menjelang Ashar, mereka istirahat sejenak. Tya, Tika, Syerin dan Nina sibuk memilah foto mereka, mencari hasil yang paling bagus untuk diserahkan sebagai tugas mereka. Sementara itu Fajar sedang duduk di salah satu bangku taman, membaca buku. Safa menghmapirinya.

“Terimakasih ilmunya hari ini, Bang.”

Fajar menghentikan membaca, tersenyum mengangguk pada Safa. Angin sore mulai berhembus, rambut Safa diterbangkan oleh angin itu.

“Masih ragu pakai jilbab?”

Safa cuma menunduk diam. Fajar memberikan tempat di bangku, menyuruh Safa duduk di sebelah. Safa mengikuti perintah Fajar, duduk di sana.

“Padahal Abang ingin memberitahu banyak hal pada Safa. Tapi satu hal saja sulit untuk dipraktekkan.”

Safa masih diam.

“Mungkin karena lingkunganmu begini, jadi Safa tidak punya dorongan untuk melakukannya.” Fajar menarik nafas sebentar. “Tika sepertinya baik, Abang sarankan untuk lebih mendekat ke dia daripada yang lain.”

Safa mengangkat kepalanya, mendengar.

“Kalau Abang minta sesuatu boleh?”

“Apa?”

“Sebaiknya jangan terlalu dekat dengan Syerin dan Nina lagi, Saf. Lingkungan juga sangat mempengaruhi dalam proses berhijrah. Mereka bisa menghambat kamu.”

Safa menatap Fajar seksama. Dia mulai ikut campur urusan internal.

“Memangnya Abang tahu apa tentang mereka?” tanya Safa ketus.

Fajar cuma diam melihat Safa yang mulai tidak biasa.

“Aku tidak mengerti bagaimana Abang bisa tiba-tiba ada dalam kehidupanku, dan ikut campur urusanku. Abang juga sangat memaksakan kehendak Abang padaku. Memangnya..., kita sedekat apa?”

Safa berdiri dari kursi, menoleh ke samping, ke arah Fajar. “Sebenarnya..., kamu siapa?”

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang