“Innalillahi wainnailaihi raji’un. Telah berpulang ke rahmatullah…,”
Safa telah mendengarnya. Kematian salah seorang penduduk desa diumumkan lewat pengeras suara di masjid. Hal itu diumumkan ketika selesai sholat shubuh. Dan Safa, duduk diam di ruangan ini seperti sengaja menunggunya. Pengumuman yang sangat penting : Kematian Bapaknya.
Gadis yang pakaiannya kini sudah kusut itu beranjak mendekat pada jasad Bapak yang tertutup kain panjang. Di ruangan itu ada Ibu, kerabat, juga seorang lelaki yang belum lama dikenalnya, Fajar. Dia datang malam-malam menjemput Safa di rumah kost, menawarkan untuk mengantarnya pulang. Entah dari mana ia bisa tahu kabar itu.
Safa mencium pipi Bapak untuk kali terakhir. Nanti, saat matahari sudah mulai naik Bapak akan segera dimakamkan. Itu berarti, sosok Bapak akan benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Air mata Safa menetes lagi mengingat itu.
“Pak…, nama Bapak akhirnya diumumkan lewat pengeras suara masjid. Nama Bapak akhirnya disebut…,” Safa tersedak. Air mata berjatuhan, orang-orang di sekitarnya pun ikut menangis lagi. Dada rasanya sesak sekali, ingin berteriak rasanya, namun tertahan.
Sejak malam tadi ketika baru sampai di rumah ini, Safa belum sempat mandi dan menukar baju. Safa masih memakai baju kaos dan celana jeans, dan rambutnya acak-acakan. Semalaman Safa tidak tidur. Bagaimana hendak tidur, jasad Bapaknya terbujur kaku di samping, tidur untuk selama-lamanya.
Sesuatu yang membuatnya semakin menyesal adalah bahwa kenyataannya dia tidak berada di samping Bapak di saat-saat terakhirnya. Padahal, Safa putri satu-satunya.
Makwo-nya mendekat ke arah Safa, memeluk. Sementara lelaki itu, tampaknya tidak ingin mengganggu reuni dadakan keluarga itu, dia pergi keluar.
Tak pernah, bahkan hanya terbesit membayangkan Bapak akan pergi secepat ini. Betapa Safa akan merindukan Bapak. Dia motivasi terbesarnya. Sekarang yang tersisa hanyalah nasihat-nasihatnya. Wajahnya yang selalu tersenyum meski lelah. Badan yang selalu bersemangat bekerja meski sebenarnya sering pegal-pegal. Bapak yang…, ah begitu banyak kenangan tentang Bapak. Namun kini lelaki itu telah terbaring tak bernyawa.
“Bapakmu…, meninggal dengan tersenyum, nak.” Bisik Makwo di telinga Safa. Bagai desau angin, hanya menambah pilu hatinya. Bapak orang yang baik…, Ya Allah! Kenapa cepat sekali?!
“Safa bahkan belum tamat SMA, Makwo…,” Safa berkata lirih.
Makwo memeluknya lebih erat.
*
Ingatannya kembali ketika sebelum pergi sekolah di Ibu Kota provinsi dulu. Ketika itu Bapak menasehatinya tentang sesuatu.
“Nak…, nanti jangan cari suami yang seperti Bapak.” Begitu ujar lelaki paruh baya itu. Serius sekali berbicara pada anak perempuannya yang tengah berkemas.
Safa menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi sibuk. Dia menjawab malu-malu. “Apa sih, Pak? Safa baru tamat SMP kok nasehatnya sudah begitu? Seharusnya tentang motivasi belajar, cita-cita. Yang begitu.” Kembali menyusun pakaian yang hendak dibawa ke rumah kost.
“Kamu ‘kan akan merantau, di sana kamu akan menemui banyak hal. Termasuk jodoh.”
“Sudahlah, Pak.” Wajahnya memerah karena malu. Bagi anak yang baru masuk SMA sepertinya, masalah pernikahan seperti lelucon. Tapi Safa tertarik juga, sedikit. “Hmmm…, tapi kenapa tidak boleh yang seperti Bapak? Bapak ‘kan baik?” Tanya Safa meski ragu-ragu.
Bapak mengusap wajah. “Karena Bapak tidak menjaga anak dengan baik.”
Safa menatap wajah Bapak lamat-lamat, belum mengerti. “Apa karena Safa sekolah di tempat yang jauh?” Tanya Safa dengan rasa bersalah, menunduk. “Apa Bapak tidak ikhlas menyetujui keputusan Safa?”
“Bukan.”
“Lalu, apa karena kematian Abang?” Ibu pernah bercerita sedikit tentang Kakak lelakinya, ia meninggal saat masih kecil dulu. “Tapi itu ‘kan bukan salah Bapak?”
Bapak hanya tersenyum. Safa masih tidak tahu mengapa, tapi seharian itu bapak lebih banyak termenung. Dia hanya menyimpulkan bahwa Bapak sebenarnya tidak mau mengizinkannya sekolah di kota.
Maka ketika hal ini terjadi, Safa malah balik menyesali keputusannya. Sehingga tidak dapat menemani Bapak di saat terakhirnya.
*
Pagi ini, hujan mengguyur meski tidak terlalu deras. Safa menyaksikan sendiri jasad Bapak yang dimasukkan ke liang lahat, kemudian ditimbun dengan tanah. Jika bisa, ingin sekali Safa terus duduk di sana, menemani Bapak. Namun Ibu memaksa Safa untuk pulang ke rumah, Safa pun harus meninggalkan Bapak sendiri.
Ah, bukannya seharusnya ibu yang paling terpukul? Hampir separuh usianya, ia selalu bersama Bapak. Namun wanita itu terlihat tegar di depan Safa. Meski Safa tahu, sebenarnya bulir air mata menusuk-nusuk hendak keluar.
Tujuh malam rumah itu ramai oleh para tetangga yang datang bertakziah, membacakan surat yasin. Selama itu pula Safa tidak keluar dari kamarnya. Tidak nafsu makan. Senyumannya yang seharusnya bisa menenangkan, kini tak nampak lagi. Ia hanya meringkuk di atas kasur, termenung, dan menangis.
Ibu masuk ke dalam kamar, melihat anaknya. Ia juga sangat sedih, tapi tidak seputus asa Safa. Ibu duduk di sampingnya.
“Sudah terlalu lama kamu izin sekolahmu, Nak. Segera kembali, agar tidak terlalu banyak tertinggal pelajaran.” Bukan Ibu tidak ingin dia di sini, tapi akan lebih baik ia kembali beraktifitas seperti biasa agar bisa melupakan kesedihannya. Ibu mengusap rambut Safa.
Safa menatap ibunya lamat-lamat, bulir air mata menggenang lagi di pelupuk matanya, seakan tidak ada habisnya. “Bagaimana Ibu? Ibu sendirian di sini sekarang. Kalau aku pergi, siapa yang menamani Ibu…,?” tanyanya lirih, hampir tidak terdengar.
“Tidak apa-apa. Ibu tidak pernah sendiri,” Ibu mengambil nafas. “Ibu yakin, Bapak akan sangat bangga sekali kalau kamu menyelesaikan sekolahmu, dan menjadi sukses di sana.”
Safa menggeleng. Terlalu banyak kenangan di rumah ini, Safa tidak ingin meninggalkannya begitu saja.
“Kita tidak boleh bersedih terlau berlarut-larut. Allah dan rasulnya benci sikap seperti itu. Bapak selalu bilang begitu, bukan?”
Suara jangkrik di luar bersahut-sahutan. Safa masih tidak berkutik.
“Ibu akan sangat kecewa kalau kamu tidak kembali ke sekolah.” Suara ibu kali ini terdengar tegas.
Safa menghela nafas panjang. “Baiklah. Satu minggu lagi, bu.”
Ibunya mengangguk.
Namun sayang, setelah satu minggu itu, Ibu ternyata ikut pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...