Hari sabtu ini Safa tidak mau pulang kampung. Dia sangat tersinggung dengan apa yang dikatakan Ibunya satu bulan lalu lewat telepon. Safa tahu kalau yang dilakukannya salah, dia seharusnya mengikuti kata Ibunya dahulu untuk pulang, sehingga bisa didiskusikan dan bisa jadi ada jalan keluar lain.Tapi begitulah dia, gengsi kalau meminta maaf lebih dulu. Apalagi ibu juga tidak menelponnya, Safa jadi semakin galau.
Sebagai gantinya, hari minggu Safa pergi ke toko Sarah. Konsisten dengan apa yang dikatakannya, dia pun melamar jadi pegawai paruh waktu untuk membiayai kost-nya. Bu Sarah, Fajar, dan Annisa menerimanya dengan tangan terbuka di toko itu. Sudah seperti rumah ketiganya.
Rambut Safa masih terurai, dia tidak jadi pakai jilbab.
“Assalamu’alaikum!” Fajar yang lebih dulu berada di dalam malah mengucapkan salam, menyindir Safa yang main terobos masuk saja. Bu Sarah dan Annisa tertawa kecil.
Sadar dengan kekhilafannya, Safa melangkah mundur lagi, mengulang adegan masuk toko. Kali ini diucapkannya, “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam!” Jawab ketiga orang itu serempak.
Fajar melangkah mendekati Safa, berlagak sesopan mungkin seperti pelayan restoran mahal, sedikit membungkuk, meniru gaya orang asia timur. “Maaf. Bisa dilihat sendiri, toko kami sedang lengang. Kalau pelayan toko ditambah lagi, bisa-bisa pelanggan tidak jadi beli karena diserbu pelayannya.” Fajar berlagak sok serius.
Safa merasa sedikit tersinggung. Wajahnya mulai terlihat masam.
“Fajar!” Tegur Mamanya.
Fajar menoleh, mengangkat bahu, bukannya yang dikatakannya benar? Pelayan jadi lebih banyak daripada pelanggan jadinya, kan?
Annisa segera menarik tangan Safa, “Kamu katanya mau olahraga sana pergi! Pelayan seperti kamu itu yang bikin pelanggan takut!”
Fajar mengangkat bahu. “Masa sih tidak merasa? Toko kita jadi makin sepi karena pelayannya pemarah seperti kamu.”
Annisa melotot. “Kamu bilang apa?!”
“Assalamu’alaikum!” Fajar cuma menyahut dan pergi meninggalkan toko.
Annisa jadi semakin sebal dengan tingkahnya. “Dia kenapa, sih, Ma? umurnya sudah mau kepala dua tapi masih saja kekanak-kanakan.” Dia mengadup pada Bu Sarah.
Bu Sarah tertawa melihat anak-anaknya yang bertengkar, di mata tuanya, mereka terlihat menggemaskan.
“Itu tandanya dia baik-baik saja, Nisa”
“Baik-baik saja gimana, Ma? Mungkin dia perlu datang ke konselor, deh!” Annisa masih sebal.
Safa yang menjadi sumber awal keributan ini cuma terkikik melihat Annisa yang mengomel-ngomel. Teringat ceritanya beberapa waktu lalu, dia terdengar sangat menghormati Fajar, tapi sekarang sudah berubah lagi.
Satu per satu pelanggan mulai berdatangan. Toko mulai sibuk.
*
Safa dan Annisa duduk di lantai dingin toko, menyandarkan punggung ke dinding. Rasa lelah sudah menjalar ke seluruh tubuh mereka. Duduk di lantai dingin sepertinya dapat sedikit memberikan kenyamanan. Safa mengurut-ngurut tangan dan kakinya yang pegal-pegal. Annisa juga melakukan hal yang sama. Hari ini banyak sekali pelanggan yang datang, sampai-sampai kedua gadis itu kuwalahan mengurusnya, dan membuat Bu Sarah juga harus turun tangan.
“Jadi nyesal nyuruh Bang Fajar pergi,” gumam Annisa, sadar dengan kesalahannya.
Safa terkikik, “Makanya, salah siapa, coba? Kalau Bang Fajar ikut bantu, kita tidak akan selelah ini. Bang Fajar kan bisa disuruh manjat-manjat ngambil barang yang diatas.” Safa menghentikan gerakan mengurut badannya, berubah haluan mengurut bahu Annisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...