Filosofi Congklak

2.3K 160 4
                                    

Sekali-kali jadi anak nakal sepertinya tidak masalah. Syerin and friends coba-coba membolos untuk pertama kalinya. Kebetulan persahabatan yang berasal dari dua kelas itu sama-sama memiliki pelajaran yang membosankan di jam terakhir. Daripada tidak ada gunanya juga  di dalam kelas, lewat hape yang dibuka diam-diam, mereka berdiskusi panjang sebelum akhirnya memutuskan melarikan diri ke kantin.

Syerin, Nina, dan Tya tentu saja tahu mengenai masalah yang dihadapi Safa, juga hubungannya yang tidak harmonis dengan Tika. Untuk itulah pertemuan dadakan ini dilaksanakan. Untuk menghibur Safa, dan menyelesaikan masalahnya dengan Tika.

Tidak seperti yang diduga, Safa dan Tika malah datang bersama-sama sambil bergandengan tangan. Ketiga gadis yang sudah menunggu lebih dulu itu cuma bisa melongo tidak mengerti.

“Aku sudah tidak apa-apa sekarang, friends. Berkat SMS dari nomor yang tidak dikenal, membuat aku dan Tika bisa akur. Kata-katanya bijak dan menghibur.”

“Nomor yang tidak dikenal bagaimana, Saf?” Nina bertanya.

Air muka Safa mendadak berubah jadi berseri-seri mengingat kejadian pagi kemarin. “Mungkin itu Reynald.”

“Hah?!” Keempat orang itu serempak terkaget.

“Iya. Saat di belakang, aku menangis sendirian, Reynald datang menghiburku.”

“Kenapa pernyataan tadi agak ganjil, ya, Saf? Kamu yakin tidak salah orang?” Nina masih tidak percaya, semakin mendekat pada Safa memeriksa matanya layaknya seorang dokter spesialis mata.

Safa cuma tersenyum malu.

Mereka berbincang panjang hingga bel pulang terdengar.

Perlahan, satu per satu gadis dari kumpulan itu bubar, pergi mencari pasangan masing-masing. Dan Safa ditinggal sendiri.

Selesai membersihkan diri sepulang sekolah, Safa merasa bosan sendirian di kamar kost. Dia memutuskan keluar mencari udara segar. Meski hari masih siang tapi tidak terlalu terik. Safa melangkah mengikuti arah angin membawanya. Dan mendapati dirinya sudah duduk di sebuah bangku di depan toko. Muslimah Store : Toko Sarah. Begitu tulisan yang tertera di depan pintu.

Safa hanya duduk sambil termenung. Tak lama, gadis penjaga toko datang menghampiri. Safa masih ingat, dia penjaga toko yang ramah dan murah senyum. Annisa.

"Mau beli jilbab lagi, Ukhti?" Annisa duduk di sebelah Safa.

Safa menggeleng. "Tidak, Kak. Cuma mau numpang duduk saja, boleh, kan?"

"Tentu saja boleh."

Hening sejenak. Angin perlahan menerpa wajah kedua gadis itu. Menggerakkan rambut Safa. Mengibarkan jilbab Annisa.

"Sejak kapan Kakak bekerja di sini?" Safa mulai bertanya.

"Sejak lulus SMA, kira-kira sudah dua tahun."

Percakapan ringan terus berlanjut. Annisa sedang kuliah semester 2, ia bekerja untuk menambah biaya kuliahnya. Sama seperti Safa, Bapak dan Ibunya juga di desa, dia tinggal di rumah kost. Annisa sudah mandiri sejak dulu, jadi untuk bekerja, kuliah, mengelola keuangan, apalagi mengatur waktu, tidak jadi masalah baginya.

"O iya, Kak. Sejak kapan Kakak mulai berhijab?"

"Tiga tahun yang lalu."

"Waktu itu, kenapa Kakak memutuskan berhijab?" Gaya Safa sudah seperti wartawan saja.

"Hm?" Wajah Annisa memerah sepintas. "Itu karena...,” Dia ragu-ragu bercerita, apalagi mereka belum terlalu dekat untuk dia menceritakan alasan sebenarnya. “Karena hijab itu hukumnya wajib dan sebagai identitas seorang muslimah.” Annisa menjawab dengan jawaban yang sangat umum. Meski sebenarnya tidak salah juga.

Toko Hijrah (COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang