Kakinya terus berjalan menyusuri jalanan trotoar. Menangis. Tak peduli orang-orang memperhatikannya. Hingga menemukan sebuah toko yang pintunya tidak pernah dikunci. Sebuah toko yang tidak menjual apapun. Safa masuk ke dalamnya. Duduk bersandar pada sebuah dinding. Beristighfar, dan menangis. Betapa Betapa bodohnya dirinya. Mau diperlakukan bodoh oleh Reynald. Kesal, marah, kecewa, menyesal, semua campur aduk.
Safa berkali-kali menggosok kasar pipi kananya, tempat bibir Reynald menempelkan bakteri. Juga di punggung tangannya, telapak tangan. Dia terus menggosoknya tidak peduli sudah merah. tidak disana saja, seluruh tubuhnya sudah kotor. Ia menangis lagi dan lagi mengingat kelakuannya hari ini.
Terdengar suara langkah kaki. Meski remang, Safa dapat dengan jelas melihat tubuh orang tersebut . Pelindungnya selama ini. Fajar.
Lelaki itu memegang lembut bahu Safa. Memberikan ketenangan. Dia akhirnya bisa berhenti menangjs. Tapi dadanya masih naik turun. Terisak.
Fajar berjongkok agar sejajar dengan Safa.
Safa malu menatap wajah lelaki itu. Fajar pasti benar-benar kecewa padanya. Ia membuka jilbabnya, melempar ke lantai, tidak peduli Fajar dapat melihat auratnya. "Aku tidak pantas menggunakan ini," ujarnya ketus sambil memalingkan wajah.
Fajar segera mengambil jilbab yang dibuang Safa.
"Kenapa dibuang?" Tanya lelaki itu, suaranya masih lembut seperti biasa.
Safa menggeleng. "Aku sudah kotor! Tidak pantas!" Safa kembali menangis menjadi-jadi.
"Tahu kenapa masih diajak pacaran meski masih berjilbab?"
Safa menatap Fajar. Mendengarkan.
"Karena dada kamu masih kelihatan." Fajar memperbaiki rambut Safa yang kusut.
"Tahu kenapa juga diajak ciuman? Karena bibir kamu jarang membaca Al-qur'an.
Lengang. Di dalam ruangan itu cuma ada mereka berdua.
"Kenapa berubah, Dek?”
Safa cuma diam. Tetesan air mata satu per satu jatuh ke lantai.
“Jawab..,”
“Aku..., cuma merasa sepi.” Pelan sekali terdengar suaranya.
“Dek, dengar. Bahkan, jika pun tersisa kamu sendirian di dunia ini. Ingat, Allah selalu ada untuk menemani kamu."
Safa cuma bergeming.
Fajar memakaikan kembali jilbab pada Safa. "Kamu pantas. Selalu, wanita manapun yang memakai jilbab. Pantas memakainya."
Safa kembali teringat masa Bapaknya meninggal beberapa waktu lalu. Saat malam pertama setelah Bapak dikuburkan, Fajar kembali datang ke rumahnya. Tidak sengaja ia melihat lelaki itu bersama Ibunya di kamar.
Safa mengintip. Dalam keheningan kamar itu, dan cuma diterangi keremangan cahaya lampu pijar, kedua orang itu tidak berkata apa-apa. Namun yang membuatnya heran, Ibu memegang pipi Fajar, matanya menatap lelaki itu dengan tatapan yang menyiratkan banyak hal yang tidak dapat dimengertinya.
Mata sayu Ibu perlahan berkaca-kaca, dan dia pun meneteskan air mata. Fajar memeluknya erat. Tangisnya pun pecah di dalam pelukan anak lelakinya.
Safa sekarang mengerti maksud tatapan Ibu. Juga foto keluarganya yang disimpan Fajar di kamarnya.
Di ruangan yang remang itu, baik Safa maupun Fajar tidak merasa risih meski hanya tinggal berdua. Fajar tidak ragu memegang tangan Safa erat. Bukan karena Fajar sudah menganggap Safa sebagai adik.
Tapi, Safa benar-benar adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...