Angkutan kota melaju kencang. Jalan yang berlubang-lubang membuat penumpang terhempas ke kiri dan ke kanan. Suasana pengap, sempit, suhu panas menyengat kulit, dan baunya membuat perut mual. Kalau bukan rasa rindu yang teramat dalam pada Ibu dan Bapak, Safa dan teman-teman tidak akan sudi naik mobil ini.
Sebelum berangkat, Syerin sempat berdandan selama berjam-jam, dan hasilnya hancur seketika setelah masuk ke dalam angkot. Mukanya coreng-moreng berkat keringat yang bercucuran. Rambut spiral merahnya berantakan. Di sebelahnya duduk seorang perempuan berbadan besar, badan Syerin yang kecil seakan sudah gepeng karena terhimpit.
Saat awal perjalanan, Tya masih sempat bernyanyi mengawal perjalanan pulang kampung mereka. Semakin berjalannya waktu, penumpang penuh, udara semakin kering, Tya sekarang terkapar tidak berdaya di sudut. Sementara Safa sendiri berusaha sekuat tenaga bertindak normal, menahan semua ketidak-enakan ini. Sampai akhirnya dia sudah tidak tahan lagi, sesuatu serasa ingin keluar dari perutnya.
“Saf, jangan sekarang Saf –“ Syerin berusaha mencegah.
Muntah. Makanan yang belum sepenuhnya hancur di perutnya keluar bersama dengan cairan asam. Rok mini Syerin jadi korban. Syerin menatap bajunya jijik.
AAAAAKKKK!!!!
*
Mereka turun di rumah Safa, segera menuju sumur di belakang. Safa bertanggung jawab atas kesalahannya, dia mencucikan rok Syerin yang dikotori muntahannya. Sementara Syerin sementara memakai kain panjang milik Ibu, duduk dengan tampang yang kesal. Dia menangis selama perjalanan, eyeliner-nya luntur, rambutnya acak-acakan.
Sementara Tya sudah terkapar di ruang tengah rumah Safa, dia capek sekali mengurus Syerin yang menangis.
“Tega kamu, Saf.” Syerin berkecak pinggang.
“Maaf, Sye. Aku tidak sengaja.”
Syerin acuh saja, masih merajuk.
Safa duduk di sebelah Syerin. “Ngomong-ngomong, kenapa papa kamu tidak menjemput kali ini? Kita ‘kan jadi tidak usah naik angkot lagi?” Tanya Safa.
“Mobil Papa rusak.” Syerin masih menjawab ketus.
Selesai mengurus roknya, Syerin dan Tya melanjutkan perjalanan ke rumah mereka masing-masing. Safa masuk ke rumah menemui Ibu dan Bapak. Mereka masih belum sadar kedatangan Safa.
Ingatan Safa kembali ketika sebelum pergi ke sekolah kota dulu.
Saat itu Safa ragu-ragu ingin bertanya. Dia sadar dirinya anak tunggal di keluarga itu, pasti sulit bagi Ibu dan Bapak untuk mengizinkan dia bersekolah di luar daerah. Apalagi membiarkannya nge-kost. Tapi akhirnya Safa memberanikan diri meminta izin pada Ibu yang saat itu sedang sibuk mencari atah beras.
“Bu..., aku mau melanjutkan sekolah di kota saja, ya?”
Ibu menghentikan gerakan tangannya. Mengalihkan pandangan melihat putri semata wayangnya itu. Safa sebenarnya merasa tidak sanggup untuk sekolah jauh ketika melihat mata sayu ibunya. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah terlanjur berjanji pada sahabatnya, Syerin, bahwa dia akan ikut ke sana.
“Teman-teman aku semuanya sekolah di sana, Bu.”
“Ada sekolah yang dekat kenapa mau yang jauh?” Tanya Ibu.
“Sekolah di depan rumah ini maksudnya?” Safa menunjuk sebuah SMA yang berada tepat di depan rumahnya. “Ibu, sekolah di sini tidak berkualitas, siswa-siswanya nakal, belajarnya juga tidak efektif. Siswa-siswi tamatan sana tidak ada yang kuliah...,”
Ibunya menghela nafas. “Ibu ini orang kuno, nak. Tidak tahu mana sekolah yang bagus atau tidak. Kamu seharusnya lebih tahu. Jika sekolah di sana memang keinginanmu, Ibu tidak bisa mencegah. Tapi ingat, fikirkan dengan matang.”
Safa seharusnya senang dengan jawaban ibunya tapi ia tahu, kata-kata yang diungkapkan bukan dari hati. Sejak kecil hidup dengan orangtuanya, Safa tahu kebiasaan mereka. Ibu memang sedang tidak berbohong, ia menyilahkan, tapi sekaligus melarang.
“Coba tanyakan pada bapakmu.” Ibu Safa lanjut mencari atah beras. Berat, Safa anak satu-satunya, kehilangan satu anak dulu sudah pernah dirasakan. Perih jika Safa juga harus pergi.
Safa duduk di teras rumah, menunggu Bapaknya pulang. Sudah sore sekali, dan wajahnya terlihat lelah. Sebenarnya dia sudah pernah membicarakan ini beberapa kali pada Bapaknya.
“Pak, Ibu menyuruh Safa minta izin ke Bapak untuk sekolah di kota.”
Wajah lelah itu tampak semakin muram. Tapi berbeda dari perkiraannya, Bapak ternyata menjawab ringan, “Pergilah.”
Raut wajah Ibu seketika berubah, tidak menyangka Bapak akan mengizinkannya. Dia pergi menghilangkan diri dari pandangan Safa. Malam itu Ibunya menangis sedih.
Sebelum keberangkatannya, Ibu sempat bilang, “Ibu harap keputusanmu itu karena keinginanmu sendiri, Nak. Bukan ingin ikut-ikutan.” Mereka melepaskan Safa pergi dengan setengah hati.
Bahkan sampai sekarang, Safa dapat merasakan kegelisahan di hati Ibu setiap dia pulang. Ibu memang tampak biasa saja dari depan, tapi Safa tahu sebenarnya Ibu hanya pura-pura baik-baik saja. Mata Ibu tidak dapat berbohong.
Safa menghampiri Ibu dan Bapak yang sedang berbincang di dapur. Mereka kaget melihat Safa yang tiba-tiba sudah ada di pintu. Safa bersalaman dengan kedua orangtuanya. Seperti biasa, Ibu segera menyiapkan makanan lezat kesukaan Safa untuk mereka makan malam. Bapak sengaja pulang lebih cepat hari sabtu dan tidak pergi bekerja setiap hari minggu untuk dapat memaksimalkan waktunya bersama putri kesayangannya.
Sejak kepulangannya hingga malam harinya, Safa sibuk sekali bercerita pengalamannya selama satu minggu di sekolah pada kedua orang itu. Mulai dari yang umum sampai yang paling detil pun diceritakannya.
Waktu melesat cepat. Sebentar sekali kebersamaan itu dirajut, kini harus dipisahkan lagi. Malam hari Ibu tidur di sebelah Safa, memeluknya erat. Enam hari yang panjang ia lalui dengan rasa rindu yang mencekam dan kesabaran yang amat dalam hanya untuk malam ini, satu pelukan ini. Ibu meneteskan air mata membayangkan bahwa besok sore wajah manis putrinya harus menghilang lagi dari pandangan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Hijrah (COMPLETED) ✔
SpiritualJauh dari kampung halaman. Jauh dari Tuhan. Nurul Safa Salsabila menghabiskan masa mudanya dengan hanyut dalam kemaksiatan. Mengaitkan kelingking, ucapkan perjanjian. Mereka fikir itu cinta. Mereka fikir akan bahagia. Lupa, masa depan menjadi taruh...