Matahari sudah mulai memancarkan sinarnya saat seorang Leonardy keluar dari dalam mobilnya dan berjalan gontai mendekati pintu utama sebuah rumah kontrakan.
Cowok bertubuh jangkung itu mengetuk pintu dengan tidak sabaran karena mata nya benar-benar sudah tinggal lima watt. Dia harus segera tidur karena siang nanti ada kelas.
Ketukan semakin membabi buta karena pintu belum kunjung terbuka. Leo berdecak sebal. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, mana mungkin belum ada satu pun penghuni kontrakan yang sudah bangun.
"Darel, buka dong pintunya!"
Saking kesalnya cowok itu sampai mengetuk-ngetuk jendela juga. Dia yakin jam segini, seorang Darel Azio Farjana sudah bangun. Mana pernah cowok itu bangun di atas jam lima subuh. Walaupun weekend Darel tetap bangun pagi karena cowok itu selalu ingat pesan ibunya yang kerap kali diucapkan setiap wanita paruh baya itu katakan setiap kali berkunjung.
Jangan bangun siang-siang nanti rezekinya dipatok ayam.
Ya namanya juga orang dulu ya, teorinya suka aneh-aneh. Urusan rezeki bukannya udah ditentuin sama Tuhan? Apa hubungannya coba sama ayam?
Tapi yaudah lah, mau seaneh apapun, sebawel apapun ibunya, Darel akan selalu dengerin semua nasihat dan perintah beliau. Karena Darel sayang banget sama ibunya. Ya emang, anak mana sih yang gak sayang sama ibunya. Tapi bener deh, Darel emang sesayang dan senurut itu sama orangtuanya.
"Darel gue tau ya lo udah bangun,"
Krik
Masih belum ada jawaban.
"Darel ayo dong bukaaaa. Nanti gue salamin deh ke Trisha kalau lo masih sayang sama dia dan mau bali—"
Krek
".... kan."
Ocehan panjang Leo terhenti karena pintu sudah terbuka dan menampakkan sosok pria berambut segelap malam dan raut wajahnya yang super datar berdiri di ambang pintu.
Seketika cengiran Leo merekah. Cengiran yang terlihat sangat menyebalkan di mata Darel Azio pagi hari ini.
"Gutten Morgen?"
"Masuk. Sebelum gue berubah pikiran."
Setelah mengucapkan kalimat perintah dengan nada super dingin itu, Darel kembali masuk ke dalam dan meninggalkan Leo yang sekarang sedang misuh-misuh.
"Ceramah dah abis ini."
Leo melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Menutup pintu dari dalam kemudian membanting tubuhnya ke atas sofa empuk yang terdapat di ruang tamu.
Cowok itu melepaskan jaket kulit cokelat dan sepatu converse kesayangannya. Jaket kulit dan sepatu converse memang sudah menjadi ciri khas seorang Alchandra Leonardy.
"Gue udah bilang berapa kali sih kalau kontrakan kita punya aturan yang gak boleh dilanggar?"
"Iya sorry, tadi Steffy—"
"Don't call you're fucking bitch name in front of me."
Leo terdiam. Dia melupakan sebuah fakta bahwa Darel sangat membenci gadis yang baru saja Leo kelepasan menyebutkan namanya. Sebenarnya bukan hanya Darel, teman-teman satu rumahnya yang lain pun secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya kepada gadis bernama lengkap Steffany Amartha itu.
Namun Darel lah yang paling membenci Steffy. Menurut pria itu. Steffy hanya lah perempuan random yang ditemukan Leo di club saat pria itu sedang dalam masa terpuruknya. Perempuan random yang merangkap menjadi seorang fwb seorang Alchandra Leonardy dan sekarang dengan tidak tahu dirinya berani mengatur-ngatur hidup pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda [Republish]
General Fiction[ON HOLD] (n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence "Not all words should be spoken."