Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bicara soal kehilangan, semua orang pasti pernah merasakannya. Entah itu kehilangan sesuatu yang emang bener-bener miliknya, atau kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah mereka miliki sebelumnya. Dua-duanya sama, sama-sama membawa luka. Dan gak ada satupun orang di dunia ini yang siap dengan kehilangan.
Bagi gue, selain membawa luka, kehilangan juga membawa berbagai pelajaran. Dari kehilangan gue belajar gimana caranya menjaga sesuatu yang udah gue miliki dengan baik. Atau kalau gue udah berusaha untuk mejaganya tapi gue tetap kehilangan sesuatu itu... Gue belajar gimana cara mengikhlaskannya.
Dan gue rasa, cewek yang sekarang duduk di hadapan gue sambil mengunyah baksonya juga sedang melakukan hal yang sama, mengikhlaskan. Sekalipun sesekali raut mukanya berubah sendu, tapi dia berusaha untuk menutupi semuanya dengan senyum terbaiknya.
Udah hampir sebulan semenjak kepergian Ayahnya, Melody Cashimira selalu mencoba untuk mengikhlaskan semuanya.
"Ada yang aneh sama aku ya, Kak?"
Gue yang semula sibuk menatapnya terkesiap karena tiba-tiba aja dia bersuara setelah menyadari sedang diperhatikan secara terang-terangan sama gue.
"Enggak," gue menggeleng seraya tersenyum kemudian menyodorkan ketang goreng yang gue beli ke arahnya.
Keningnya berkerut, tanda kalau dia kebingungan. Gue cuma merespon kebingungannya dengan seulas senyum simpul.
"Makan yang banyak. Badan lo makin lama makin kurus gue liat-liat," kata gue pada akhirnya karena dia yang terus memandang gue keheranan.
"Hah? Emang iya?"
Ngeliat gimana ekspresi terkejutnya sekarang, sukses membuat tawa gue pecah sekalipun cuma sebatas kekehan kecil. Kenapa hanya dengan ngeliat mukanya yang polos itu gue berhasil dibuat gemes sendiri sih?
"Iya. Lagi sibuk banget ya lo pasti sampe lupa makan?"
Sejujurnya gue tau, alasan utama kenapa dia sampe kehilangan berat badannya bukan cuma karena kesibukannya, tapi juga karena berbagai macam pikiran yang bersarang di kepalanya. Dan juga... Karena dia masih sering menghabiskan waktu malamnya dengan menangis sendirian di kamar kossnya
"Iya nih. Aku harus ngejar tugas selama absen kemarin. Parah sih, izin tiga hari aja serasa tiga bulan. Tugas udah numpuk banget."
Gue selalu suka saat ngeliat ekspresi merengutnya atau saat dia lagi ngerucutin bibir kayak sekarang. Hal itu bikin gue tanpa sadar mengulurkan tangan untuk mengacak-acak lembut puncak kepalanya.
"Nanti gue bantuin deh."
"Ihh gak usah!"
"Loh? Kenapa?"
Ada rasa bersalah dari raut wajahnya sekarang padahal dia gak habis melakukan kesalahan apapun.
"Aku gak mau ngerepotin Kak Kean terlalu banyak. Lagian 'kan... Kak Kean pasti punya tugas juga."