Mikayla
Gue memandangi pantulan bayangan gue yang tercetak di cermin dengan penuh kekhawatiran. Berkali-kali gue merapihkan tatanan rambut gue yang kali ini gue biarkan tergerai. Berkali-kali juga gue mengecek gaun yang gue kenakan, takut ada yang lecak dan gak enak dilihat.
Tadi pagi gue mendapat telepon dari Raskal kalau dia meminta gue untuk menemaninya menemui ayahnya malem ini. Gue jelas kaget bukan main. Di umur hubungan gue dengan dia yang masih terbilang baru seumur jagung ini, rasa insecure dan takut kalau orang tuanya gak menyukai gue sedang menggebu-gebunya.
Gue takut mereka gak suka anaknya punya hubungan dengan gue. Gue takut kalau gue gak sesuai dengan kriteria mereka.
Dan terlebih lagi, ada satu faktor cukup besar yang bisa menjadi alasan mereka gak menyukai gue. Faktor yang juga selama gue menjalani hubungan ini terus menghantui gue.
Gue melirik arloji yang mempel di dinding. Seharusnya Raskal udah sampai, tapi gue belum mendengar tanda-tanda kedatangannya dan gue bersyukur atas itu.
Demi apapun, gue sedeg-degkan itu.
Drtt... Drtt...
Ponsel yang gue letakkan di atas meja rias bergetar. Dengan degup jantung yang udah gak beraturan temponya, gue meraih benda elektronik itu dan membaca pop up chat yang tertera di layar.
Raskal: Aku di depan
Raskal: Udah selesai?
Gue menghela napas sebentar sebelum akhirnya mengetikkan balasan untuk pesannya. Gue meraih sling bag yang terletak di atas kasur kemudian menyampirkannya pada sebelah pundak gue. Setelah meyakinkin diri gue kalau semuanya bakalan baik-baik aja, gue melangkah keluar kosan dengan kegugupan yang masih menguasai diri.
Begitu melihat sosok berjaket hitam yang sedang merapihkan rambutnya di atas motornya, degup jantung gue makin menjadi-jadi. Dan begitu tatapannya udah tertuju pada gue, disertai dengan senyum manis yang menjadi ciri khasnya, tiba-tiba ada rasa hangat tersendiri yang menyerang dada gue.
"Yuk," dia menepuk-nepuk jok belakang motornya.
Gue tersenyum kemudian melangkah mendekatinya, "Cepet amat sampenya?" kata gue saat sudah berada tepat di sampingnya.
Dia hanya terkekeh mendengar pertanyaan gue. Tangannya bergerak untuk mengusak puncak kepala gue yang tentunya berhasil membuat gue menahan napas, padahal ini bukan yang pertama kalinya. Gue masih segakmenyangka itu kalau Raskal Gevanio adalah cowok gue sekarang.
Dia melepaskan jaket kulit hitamnya, menyisakan kemeja berlengan panjang berwarna putih yang lucunya sama dengan warna dress yang gue kenakan. Begitu tangannya melingkari pinggang gue untuk mengikatkan jaketnya di sana, gue merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang memenuhi perut gue. Dari jarak sedekat ini, gue bisa mencium aroma parfumenya yang khas dan menjadi favorit gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda [Republish]
Ficción General[ON HOLD] (n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence "Not all words should be spoken."