Leo
Gue gak pernah tahu kalau rasanya dikalahkan bakal sesakit ini. Gue selalu beranggapan kalau gak apa-apa kalah, gak apa-apa kalau apa yang kita inginkan justru didapat oleh orang lain. Tapi ternyata rasanya sakit banget sampai gue gak bisa merangkainya dengan kata-kata.
Berkali-kali gue memaki diri gue sendiri ketika melihat Raskal yang senyum-senyum setiap memainkan ponsel, atau mendengar gimana dia menyahuti panggilan dari seberang sana yang gue ketahui pelakunya adalah perempuan karena gak mungkin dia ngomong lemah lembut sama sesama cowok, dia masih doyan lobang, belum belok.
Dan ketika mendengar nama siapa yang dia sebut, kekalahan gue semakin terasa nyata.
"It's oke. Sleep tight, Mikayla."
Gue yang berada gak jauh dari tempat dia melakukan kegiatan teleponannya itu hanya bisa tertawa miris. Menertawakan diri gue sendiri.
Gue gak tau kenapa bisa cowok yang tadinya menolak mentah-mentah kehadiran Mikayla Beryl Ayana dalam hidupnya, sekarang malah gencar banget ngehubungin cewek yang dulu dia amit-amitin itu. Gue tau beberapa hari yang lalu mereka jalan berdua ke pameran fotografi dan Kayla membantalkan janjinya untuk menonton show gue yang berlangsung pada hari yang sama. Dia bilang dia ada tugas yang deadlinenya mepet, dan dengan bodohnya gue bersikap seolah-olah mempercayai itu.
Demi apapun rasanya gue mau marah-marah, karena Kayla sebelumnya gak pernah menutupi apapun dari gue. Makanya pas dia bohongin gue rasanya sakit banget.
Mengingat gue yang hang over beberapa hari lalu, itu karena pikiran gue bener-bener kacau. Gue mendapati banyak telepon masuk dari nomer yang gak dikenal dan gak taunya itu adalah orang suruhan bokap gue yang menyuruh gue untuk ikut ke London dan menghadiri pesta pernikahannya. Gue heran kenapa tuh manusia gak suka banget kalau gue hidup tenang padahal gue udah menuruti kemauan terbesarnya-pergi dari rumah.
Kepala gue rasanya mau pecah karena masalah itu, ditambah lagi Kayla yang gak mau angkat telepon gue dan hanya membalas singkat pesan-pesan yang gue kirim.
Saat seseorang yang dulu sangat dekat dengan lo, dekat seperti gak punya celah, sekarang malah terasa seperti orang asing yang baru saling mengenal rasanya sedih banget.
Tapi di satu sisi itu membuat lo sadar kalau semua ada masanya sendiri-sendiri. Ada masanya yang asing menjadi karib, ada masanya yang semula sedekat nadi menjadi sejauh matahari. Karena waktu gak akan pernah berhenti. Sepengen apapun kita untuk memberhentikan waktu barang sedetik pun dia gak akan pernah berhenti. Waktu terus berjalan dan kita hanya bisa pasrah mengikutinya.
Dan mungkin sekarang emang udah masanya gue dan Kayla kembali asing seperti dulu. Seperti sebelum gue dan dia bertemu di Bukit Bintang.
Gue bangkit dari sofa yang gue duduki. Masuk ke dalam kamar untuk mengambil jaket dan kunci mobil gue. Gue butuh hiburan. Terlalu lama berada di rumah dan bertemu manusia bernama Raskal Gevanio membuat dada gue semakin sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda [Republish]
Fiksi Umum[ON HOLD] (n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence "Not all words should be spoken."