#15 when the day got calmer

1.6K 246 12
                                    

"Gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue...lebih baik kita...gak usah ketemu dulu" sambung Nara.

Entah apa yang membuat Nara mengucapkan keputusannya malam itu. Daniel terkejut mendengar ucapan Nara, ada kesedihan tersirat di mata nya.

Daniel menatap sedih Nara setelah mendengar keputusan Nara malam itu. Apakah ini yang dinamakan patah hati? Daniel serasa seperti dicampakkan oleh Nara saat itu. Tapi lo nya nyadar gak Niel kalo duluan lo yang nyampakkin si Nara.

Daniel masih mencoba mengumpulkan segala kesadaran dirinya.
"Ma-...maksud lo gimana Nar?" ada siratan kesedihan di nada bicaranya.
"Yaudah...kita...gak usah ketemu dulu...kita cukup introspeksi diri masing-masing aja. Selesain urusan masing-masing. Mungkin-...mungkin itu yang kita berdua sama-sama butuhin sekarang" balas Nara. "terutama lo Niel, lo kelarin urusan lo itu" sambung Nara dalam hatinya.

"Nar gue sayang sama lo. Please percaya sama gue. Gue emang bodoh Nar, idiot. Tapi please jangan tinggalin cowok lo yang bego ini Nar."

Daniel gue marah banget sama lo tapi gue kangen. Gue benci lo Niel bikin gue kayak gini.

"Nara, lo boleh marah sama gue sesuka lo, gue emang salah. Tapi please lo jangan tinggalin gue. Gue emang bego, tapi gue yang bego ini butuh lo Nar. Gue butuh marah sama keselnya lo buat bikin gue yang bego ini jadi gak bego lagi. Gue butuh marah sama keselnya lo ke gue ini buat bikin salah salah nya gue jadi bener. Gue butuh lo Nar. Gue gak mau lo mikir kalo lo tuh worthless buat gue, lo gak enough, atau lo insecure. Because the thing is that you are all that matters to me. Lo terlalu berharga buat gue Nar dan gue bego sia-siain itu." kata Daniel sambil menatap dalam Nara.
"Kata maaf gue mungkin gak cukup Nar, tapi gue mau berusaha. Gue mau perbaikin semuanya. Gue sayang sama lo Nar. Gue gak tau lagi harus ngomong gimana ke lo. Lo boleh marah lo boleh ngamuk ke gue lo boleh ngambek sesuka lo ke gue. Tapi please maafin gue dan jangan tinggalin gue Nar. Please." Sambung Daniel, rasanya sudah ingin menangis saja melihat Nara dan mengucapkan maafnya berulang kali.
Nara hanya bisa diam. Pikirannya masih kalut menimbang nimbang kembali keputusannya. Haruskah dia membiarkan saja hubungannya selesai sampai disini, atau membiarkan lagi dirinya untuk percaya pada Daniel?

Lama Nara berkutat dalam pikirannya sendiri.
"Gue...gue gak tau Niel" jawab Nara ragu.
Daniel sudah sangat putus asa. Ini memang salahnya dari awal, kenapa dia tidak jujur dan terbuka, kenapa dia melakukan tindakan bodoh seperti yang sekarang dia lakukan.
"Nar... okay kalo lo mau kita.... kalo lo mau kita pisah...-." kata Daniel, tercekat. Haruskah ini akhirnya dengan Nara? "Tapi... tapi gue please banget mohon ke elo, elo jangan tinggalin gue Nar, gue akan tunggu lo. Seberapa lama pun waktu lo buat nenangin diri dan mikirin ini semua. Gue hargain keputusan lo. But please, dont leave me. Just...dont" sambung Daniel, air matanya sudah terbendung seakan bisa saja turun sewaktu-waktu. Inikah yang harus jadi akhir ceritanya bersama Nara? Penyesalan memenuhi rongga dadanya seakan Daniel tak bisa bernafas lagi.

And just like that. Malam itu keduanya berakhir dengan keputusan untuk "break sementara". Untuk introspeksi diri masing-masing. Atau itu yang Nara pikir ia inginkan dan Daniel butuhkan.


3 hari berlalu, tiada hari sedikit pun terlewat tanpa Nara memikirkan Daniel begitu juga sebaliknya. Daniel bahkan sering diam-diam mengunjungi Nara di kampusnya hanya untuk sekedar melihat keadaannya dan memastikan Nara baik-baik saja. Ataupun hanya sekedar berkontak dengan Agas atau Deril untuk menanyai kabar Nara. Situasi mereka membingungkan. Apakah hubungan ini tetap ada atau sudah kandas tanpa keduanya sadari.
Ketidakpastian membuat Daniel risau, dia sudah tak tahan lagi. Daniel sudah cukup menyadari kebodohannya dengan melepas Nara, kini Daniel tidak mau untuk kedua kalinya melakukan hal gila itu lagi. Daniel ingin kembali.

Maka diputuskannya sore itu kembali Daniel datang menjemput Nara di kampusnya.
"Nara" panggil Daniel ketika melihat Nara berjalan bersama teman-temannya.
"Nara" ulang Daniel, tampaknya Nara sengaja menghindar dengan berpura-pura tidak mendengar.
"Eh Nar itu cowok lo bukan sih? Manggilin terus tuh" colek Lesta, salah satu sahabat wanita Nara di kampus, sambil menunjuk Daniel.
Nara tetap ingin menghindar tapi tampaknya tak bisa karena sekarang Daniel berjalan menghampirinya.
"Nara"
"Oh hi" balas Nara, canggung dan juga kaget.
Teman-teman Nara yang sedang bersamanya mengerti apa yang sedang terjadi lalu pamit untuk membiarkan mereka berdua berbicara. "Nar gue balik dulu deh ya bye. Niel titip temen gue" kata Lesta sambil berlalu pergi.

Keduanya masih diam. Daniel hanya menatap Nara sementara yang ditatap berusaha memalingkan wajah.
"Nara ayok gue anter pulang"
"Gak usah. Gue...gue sendiri aja"
"Naik grab? Ngapain? Ini udah ada gue yang supirin. Ayok Nar" bujuk Daniel.
Nara menimbang-nimbang apakah harus pesan grab saja apa memanfaatkan Daniel sebagai supirnya hari ini. Nara masih marah tapi ya kalau ada kesempatan kenapa tidak digunakan saja.
"Yaudah" jawab Nara akhirnya.

Di dalam mobil keduanya masih diam. Tak ada yang mau memulai pembicaraan. Ataukah memang sudah tak ada yang harus dibicarakan lagi.
Sambil tetap fokus terhadap jalan di depannya, Daniel membuka percakapannya.
"Gimana kabar lo?"
Nara kaget mendengar suara Daniel tapi tetap menjawab. "Ya gini aja. Kayak biasanya". Bohong. Gak ada sehari pun gue gak mikirin lo Niel.
"Sibuk ya?" Sambung Daniel sambil sedikit melirik ke arah Nara.
Iya sibuk, sibuk mikirin lo. "Hmm ya lumayan"

Sampai di depan rumah Nara, again tak ada yang mau turun lebih dulu. Bahkan Nara masih diam. Sebelum sempat memutuskan untuk keluar dari mobil, Daniel kembali berbicara.

"Nar, jadi kita ini gimana?"







——————————





jadi kita gimana Daniel? :(
heuuu...

jangan lupa comment dan vote nya!

amitié • kang danielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang