2. Mesin Waktu

596 25 1
                                    

Seoul, South Korea.

Ini adalah musim panas tapi entah mengapa seperti musim dingin bagiku. Rasanya seperti ribuan butiran salju menyentuh tubuh dan kepalaku, membuatnya merinding dan bergetar seketika. Akhirnya aku sampai disini, di Negara ini, tempat dimana aku dilahirkan. Seoul, Ibu kota Korea Selatan dengan jumlah penduduk sekitar dua puluh tiga juta ini akan bertambah satu orang dan itu aku.

Sekarang aku sudah berada di sebuah mobil SUV plus dengan supir pribadi yang berpakaian rapi. Harusnya aku sangat terkesima dengan kota indah ini, kota yang memiliki orang-orang berkulit putih tanpa bercak hitam di wajahnya dan tanpa warna pirang di rambutnya berada di sepanjang jalan. Tapi perasaanku hanya takjub sesaat ketika berada di bandara seperti dejavu yang lama tidak terulang, setelahnya aku kembali seperti biasa tanpa muncul rasa tertarik lagi pada kota ini.

Perjalanan ke rumah memerlukan waktu sekitar satu jam kurang, aku hanya bersama seorang supir yang berwajah datar tanpa ditemani satu orang pun yang aku kenal. Waktu berlalu dan aku tiba di rumah besar berlatar warna putih “Hello Mom” Aku menyapa seorang wanita yang masih merawat keindahan tubuhnya dengan baik meski umurnya sudah menginjak empat puluh, Ibuku. Dia memandangku haru -kurasa.

Dia berjalan kearahku sambil membuka tangannya “selamat datang kembali, sayang” sambutnya dengan sebuah pelukkan. Kata orang kembali ke kampung halaman adalah hal yang menyenangkan. Tapi entah kenapa hari ini Aku tetap tidak bisa tersenyum, atau mungkin karena pria yang berdiri di belakangnya.

Thanks Mom” Aku menyambut pelukannya dan aku merasa tangannya tak sehangat dulu.

“kau sudah tumbuh besar, menjadi gadis yang sangat cantik” setelah melepas pelukkannya dia menatapku penuh haru lagi, tapi itu tetap tidak membuatku tersenyum dengan lebar, malah membuatku makin canggung.

“ya, tapi tidak secantik Ibu” balasku sambil melihatnya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Bahkan awalnya aku mengira dia seorang model yang sedang bertamu di rumah ini.

“Anabelle?” seorang pria yang tadinya hanya berdiri diam di belakang bayangan Ibuku datang menghampiri kami. Namanya Teo Joong, suami baru Ibu. Teo Joong pernah beberapa kali mengobrol denganku lewat E-mail, dan sekarang aku tahu betul bagaimana wajah dan tubuhnya.

“apa kabar Paman?” balasku setelah memasukkan kedua tangan kedalam saku celana.

“emm baik, tapi sepertinya kau lupa satu hal, ini Korea Ana kau harus membungkuk untuk memberikan salam” inilah yang sedikit aku tidak suka darinya. Sensitif,  “aku bercanda, kau bisa melakukannya saat beberapa hari tinggal disini, ini tempat kelahiranmu jadi pasti kau cepat beradaptasi” atau mungkin sok asik. Aku mengangguk tanpa ekspresi.

Setelah itu pandanganku menuju pada sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di belakang Ibu dan Ayah tiriku “rumah yang bagus” pujiku pada rumah yang benuansa putih itu, Ibu dan Ayah tiriku saling memandang sambil tersenyum senang “tapi masih lebih bagus rumah kita yang dulu” lanjutku tanpa merasa bersalah membuat mereka terdiam dan ketika ku melirik keduanya sudah tidak ada senyuman di wajah mereka. Oops.

Bukannya aku tidak suka tinggal disini tapi ini bukan rumah masa kecilku, lingkungannya terlihat asing, membuatku seperti tidak kembali ke rumah namun pergi ke tempat lain, “kenapa Ibu pindah?” sekarang mataku bergerak menuju Ibu.

Ibu terlihat gugup sambil sesekali melihat kearah suaminya. “kau tahu sendiri rumah kita yang dulu tidak begitu besar, letaknya pun masih di pedesaan jadi Ibu berpikir untuk pindah ke kota yang lebih besar, lagi pula ini Seoul banyak tempat menarik yang bisa kau kunjungi disini” sebenarnya itu bukan alasan yang kuat, aku tahu kalau sebenarnya Teo Joong tidak bisa tinggal dirumah itu, rumah yang penuh kenangan Ibu bersama Ayahku. Sekarang aku hanya dapat mengangguk samar mendengar alasan Ibu itu.

Anabelle & The Golden Compass Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang