4. Jarak Jauh

378 22 2
                                    

Tempat tidurku terasa sangat empuk ketika aku membanting tubuhku untuk duduk diatasnya. Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar dan ternyata Ibu yang muncul dibalik pintu. Aku menoleh dan melihatnya berjalan mendekat.

“tadi Mark menelpon” ucapnya memberitahu “tapi tak sempat bicara padamu karena dia harus berangkat kerja, apa tadi kau kerumah Taemin?” tanyanya dan aku mengangguk tanpa ekspresi “baguslah, Ibu senang kau sudah punya teman baru” dia tersenyum sambil memegang erat sebuah telpon, aku tidak menjawab dan tetap diam sambil menatap karpet coklat dilantai “ketika Mark menelpon, Mom sempat memberitahunya tentang ponsel itu dan ternyata ponsel itu kau sendiri yang membelinya dengan uangmu, maafkan aku” Ibu terlihat menyesal dan aku hanya menghembuskan napas panjang sambil berdiri.

“tidak apa-apa, benda itu memang harusnya sudah ku buang” aku berusaha terlihat baik-baik saja dan mengulum bibirku, sebenarnya ini tidak baik dan aku tadinya masih sedikit merasa marah tapi karena efek rumah sejuk Taemin yang masih terasa, aku jadi merasa lebih baik. Sekarang Ibu terlihat menunduk.

“aku tahu harusnya kau dapat hari-hari yang menyenangkan disini, tapi hari pertama saja sudah seperti ini, Mom benar-benar menyesal kalau kau mau kau bisa-”

“tidak!” cegahku cepat aku tahu Ibu akan mengatakan kalau lebih baik aku kembali ke San Francisco, semudah itukah Ibuku menyerah? “aku tidak apa-apa, sungguh, lagi pula aku bukan bola yang harus Mom dan Dad lempar dari Korea ke San Francisco, So.. jangan menyuruhku untuk kembali kesana” aku menatapnya serius dengan pandangan memohon.

“baiklah, Ibu tidak akan banyak bicara lagi, nanti akan Ibu gantikan ponselmu” dia kembali menuju pintu tapi langkahnya segera ku hentikan.

“tidak” Ibu menoleh “maksudku tidak usah aku tidak begitu membutuhkannya” aku berusaha tersenyum dan Ibu memandangku heran. Mungkin kalau aku boleh menebak ia pasti bingung denganku, sifatku yang mungkin bukan seperti Ana yang dulu, yang manja, yang selalu bilang ya atau baiklah. Maaf bu, aku sudah berbeda.

Ibu masih terdiam memandangku “sekarang aku harus melihat beberapa profil sekolah” ucapku yang kemudian duduk didepan komputer, aku belum mendengar suara pintu yang tertutup sampai aku menyalakan komputer.

“Ana” panggil Ibu.

“ya?” aku menoleh dengan wajah cukup ramah.

“tidak, tidak jadi, kalau begitu Ibu keluar dulu” setelah itu Ibu sudah hilang dibalik pintu. apa kata-kataku tadi begitu kasar?  Aku menghembuskan napas berat, ternyata begitu sulit memulai hidup baru.

Baiklah “SHINWA-senior-high-school” aku mengeja kata-kata itu sambil mengetikkan namanya. Setelah menekan tombol enter sebuah situs yang berhubungan langsung dengan sekolah itu langsung muncul di baris pertama. Aku menekan bagian kiri mouse, setelah itu gambar sebuah sekolah tertera pada header situs tersebut. Sekolahnya lebih terlihat seperti bangunan bersejarah yang antik, taman yang asri dan sekolahnya cukup besar karena terdapat universitas didalamnya.

Aku mulai menelusuri profil sekolah itu, mungkin sekolahnya tidak begitu buruk. Setelah aku lulus SMA aku juga tidak perlu susah-susah mencari tempat kuliah lagi kan?

Aku suka sekolahnya, setidaknya aku tidak akan bertemu artis yang bersekolah disana. Semuanya anak-anak biasa, anak yang manis dan baik hati. I like it.

Setelah mandi dan berganti pakaian aku turun ke lantai bawah untuk memberitahu Ibu kalau aku sudah mendapatkan sekolah yang aku mau. Aku mencarinya ke berbagai ruangan sampai tiba di halaman belakang dimana terdapat taman kecil beserta kolam renang yang berukuran sedang.

“Mom?” panggilku. Aku melihatnya tengah mengotak-ngatik ipad miliknya. Dia menoleh dan aku mendekat, “aku sudah tahu sekolah mana yang mau aku masuki” ucapku. Ibu mendengarnya senang, ia menurunkan kakinya yang mulanya ia baringkan di kursi panjang.

Anabelle & The Golden Compass Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang