19. Monster

124 12 0
                                    

Kami duduk di tangga, sama-sama terdiam, sama-sama memandang kedepan. Aku melihat gerbang rumah ini yang tertutup dengan pengait rantai yang sudah berkarat, sedangkan dia entah apa yang dilihatnya. Napasnya juga sekarang teratur, tidak seperti tadi, mungkin ia sudah cukup mengambil napas panjang setelah mengangkat air-air itu.

"Bagaimana kabar Ayahmu?" Taecyon berhasil mengambil alih topik terlebih dahulu.

"Dia baik" jawabku. Hal itu yang terakhir aku ingat ketika aku menanyakan kabar Ayah di telepon.

"Dia tidak ikut kesini?" Tanyanya lagi.

"Tidak, sekarang aku tinggal disini bersama Ibuku, juga Ayah tiriku" Taecyon membulatkan sedikit mulutnya sambil mengangguk. Tampaknya ia sedikit terkejut. Sepertinya orang-orang disini tidak tahu bagaimana kelanjutan keluarga yang pindah dari rumah ini.

"Apa kau dan Nenek itu yang menjaga rumah ini sekarang?" Tanyaku padanya.

Aku melihat alisnya sedikit berkerut "kau tidak mengenalnya?" Dia bertanya balik, aku hanya mengangkat alis "Nenek itu?" Dia memastikan dan aku menggeleng.

"Dia Nenek Han, dia yang menjagamu sewaktu kecil membantu Ibumu ketika kau masih bayi, kau sering memberinya kue saat musim dingin" Taecyon menatapku penuh harap tapi aku benar-benar tidak ingat. Jadi aku kembali menggeleng. Beberapa tahun sudah berlalu, tidak banyak kenangan yang aku ingat, mungkim aku terlalu membeci keadaan sampai melupakan kenangan.

"Sepertinya banyak hal yang sudah aku lupakan, selama ini aku hanya sibuk mencari cara agar bisa memaafkan Ibuku" Aku merapatkan kakiku dan memeluk lututku erat. Aku merindukan tempat ini tapi aku bahkan tidak ingat bagian yang aku rindukan "Mianhe" lanjutku.

"Kalau begitu aku akan membantumu mengingat semuanya, bagaimana?" Tawarnya.

Aku tersenyum, ini adalah senyuman tulusku. Aku kira ia akan tersinggung karena aku juga tidak mengingatnya, meski aku tahu dia juga menjadi bagian dari masa kecilku.

"Terima kasih" senyumku lagi.

"Kalau begitu ayo pergi" ia beranjak berdiri dan menatapku dengan antusias.

"Kemana?" Tanya aku bingung. Aku kira Taecyon akan bercerita tentang hal-hal keluargaku lakukan dulu tapi dia memulainya dengan mengajakku pergi.

"Ke rumahku" dengan ragu aku berdiri, kenapa aku harus mulai dari rumahnya? Kenapa tidak mulai dengan sekolahku dulu atau tempat yang lain "Kau harus bertemu Ayahku dia pasti senang kau datang" ucapnya sambil menunjukan jalan.

Aku kembali menurunkan lengan bajuku. Merapikan rambut yang tadi terikat asal, aku hanya tidak ingin terlihat seperti anak yang tidak terurus. Tidak ada salahnya bertemu dengan Ayahnya lebih dulu, seingatku keluarganya berteman baik dengan keluargaku.

"Ayahku pasti berteman baik dengan Ayahmu, kan?" Tanyaku ketika kami berjalan berdampingan.

"Tentu saja, mereka berteman baik, begitu juga kau dan aku" jawabannya membuat aku terdiam, membenarkan ingatanku. Meski umurnya terlihat beberapa tahun lebih tua dariku tapi aku percaya dulu kami berteman, karena aku sama sekali tidak terganggu dengan kehadirannya yang tidak terasa asing.

Kami sampai di sebuah rumah kecil, tidak lebih kecil dari rumahku. Didepannya terdapat buah-buah yang ditatarapi dan beberapa pembeli yang melihat-lihat. "Dulu kami satu-satunya penjual buah disini, tapi sekarang sudah banyak sekali yang berdagang buah, kau sering ikut kami ke kebun untuk memetiknya" Taecyon menoleh padaku sebentar. Apa raut wajahku mudah dibaca? Taecyon selalu berbicara tanpa menungguku bertanya.

Aku melepas alas kakiku dan mengikuti Taecyon masuk kedalam. Rumahnya terlihat lebih modern dibanding rumahku meski tetap bekesan Hanok.

"Appa!, kita kedatangan tamu" seru Taecyon. Tidak lama seorang pria dengan ikat kepala keluar dengan wajah bingung. Aku melihat Taecyon mengambil beberapa buah dari suatu ruangan dan Ayahnya menghampiriku.

Anabelle & The Golden Compass Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang