15. Heks Verden

330 22 3
                                    

Dia menatapku, seolah memastikan bahwa aku benar-benar mengingat semuanya. Kemudian dia menatap jari-jarinya yang aku genggam dengan erat dan dia sadar bahwa tanganku gemetar. Aku tahu dia merasakan ketakutanku di balik jari-jari ku yang kurus menggenggam tangannya.

"Aku akan menemuimu nanti, disini terlalu banyak orang" suaranya pelan, seperti berbisik dan mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar kami. Kemudian matanya tak lepas menatapku.

"Lalu aku akan setengah mati mencarimu lagi? Tidak" tolakku tanpa ragu. Aku tidak mungkin melepaskan seseorang yang sudah aku cari berhari-hari ini bukan tentang aku yang lelah mencari kemudian mengeluh, ini tentang aku yang di kejar waktu dan sedang berusaha keras mengambil waktu sebanyak yang aku bisa. Aku harap Lu Han mau menolongku, dengan rela.

"Aku akan menemuimu sepulang sekolah nanti, aku janji" sebenarnya aku sempat marah dengan sikapnya yang acuh dan pura-pura tidak mengenalku tadi. Tapi sekarang matanya terlihat hangat menatapku dan aku merasa terlindungi saat ia menatapku seperti ini. "Maaf atas sikapku tadi" Wajahnya penuh penyesalan dan ia kembali meyakinkanku dengan senyuman. Aku tidak membalas senyumnya, aku masih merasa khawatir dan tidak tenang. Sekarang bayangan Ibuku yang terlintas di benakku, membayangkan wajah lelahnya akibat sikapku akhir-akhir ini.

Dia melepaskan jarinya dari genggamanku kemudian mengeluarkan sesuatu dari lehernya. Sebuah kalung dengan tali hitam dan bandul emas berbentuk bulan "ini kalung pelindung, manusia biasa menyebutnya jimat, dia akan melindungimu sampai kita bertemu nanti" dia memasukkan kalung itu ke dalam leherku. Aku menatap bandulnya, warnanya keemasan tapi sedikit kusam, setelah itu aku kembali mentapnya.

"Aku akan menunggumu sampai kau datang" aku tidak tahu apa yang membuatku yakin kalau Lu Han benar akan menemui ku nanti. Mungkin kalung ini, mungkin bukan, mungkin rasa kasihan atau mungkin yang lain. Aku tidak tahu, tapi aku terus memainkan bandulnya sambil berjalan ke arah mobil, menoleh kearah Lu Han yang ternyata masih berdiri di tempatnya tidak bergeming. Pandangan Lu Han sama seperti pandanga Taemin padaku pagi ini, entah itu merupakan pandangan kasihan atau khawatir tapi pandangan mereka malah membuatku takut, seolah aku benar-benar terlihat seperti orang yang akan mati.

Sampai di Sekolah.

Sekolah yang membuatku bertemu dengan hal paling konyol yang terus menerus membayangi pikiranku. Setiap hari aku seperti mendengar dentingan jam yang biasanya bisa aku dengar jika keadaan sepi, sekarang seperti menggema di telingaku memperingatkanku kalau waktuku tidak banyak. Yang mulai aku pikirkan sekarang adalah tentang Lu Han yang seorang penyihir, atau semacamnya aku tidak tahu pasti Karena dia belum menjelaskannya. Yang baru aku tahu pasti dia tidak berteman baik dengan para mahasiswa itu. Kalau memang seorang vampir harusnya membunuh manusia, mungkin penyihir sebaliknya. Aku harap bisa berlindung di balik punggung penyihir seperti Lu Han, kalau memang benar.

Akhir-akhir ini lututku semakin membaik, meski kadang aku menepuknya beberapa kali untuk menghilangkan rasa gatal, itu efek dari luka di lututku yang mulai mengering. Aku kira Hana yang duduk tidak jauh di sampingku akan terganggu karena rasa gelisahku itu, tapi sejak kelas dimulai aku tidak melihatnya merasa terganggu, bahkan aku tidak yakin ia sadar ada aku yang duduk di sampingnya atau murid lain yang sibuk mendengkur saat pelajaran, dia hanya fokus pada pelajaran, terlalu fokus sebenarnya.

Aku berjalan di koridor dengan langkah yang lebih cepat dari kemarin, sekarang waktunya istirahat. Aku dan Hana berjalan berdampingan ke kantin tanpa suara. Tidak ada yang salah dengan hari ini semua berjalan seperti biasa, kecuali Hana. Mungkin dia memiliki sedikit masalah yang membuatnya murung dan memilih diam sepanjang perjalanan, aku berusah peduli tapi Hana terlalu cuek untuk merespon ucapanku.

Kami sampai di kantin. Hanyoung dan Seung Jae sudah duduk di tempat biasa di dekat kaca transparan yang menghubungkan taman dengan kolam ikan kecil di dalamnya, mereka memang selalu duduk lebih dulu di kantin. Aku sendiri heran, mereka yang paling bersemangat saat jam makan siang. Karena kelas kami berbeda jadi kami tidak sempat berjalan ke kantin bersama.

Anabelle & The Golden Compass Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang