14. Tolong Aku

49 8 2
                                    

Aku berlari secepat yang aku bisa. Bayanganku tentang kejadian di Museum kembali terulang. Bahkan sekarang aku ingat asal memar di lengan ku. Itu semua karena genggaman pria berjubah hitam di Museum. Aku tahu mereka itu apa, vampir.

Kakiku sudah menginjak koridor sekolah, tapi aku tidak kunjung berhenti, aku masih ingin berlari. Sampai tubuhku ditangkap seseorang dan terdapat tangan kekar yang melingkar di bahuku membuatku berhenti berlari. Aku mengatur napas.

"Ana!" Itu Seung Jae, dia menatapku heran. "Kenapa berlari seperti itu? Aku memanggilmu dari tadi" dia melepaskan tangannya dari bahku dan meletakkan tangan di pinggangnya. Hembusan napasnya juga tidak teratur, pasti dia mengejarku tapi aku sama sekali tidak menyadarinya.

Suara langkah kaki lain terdengar "Hey-kalian" Aku melihat Hanyoung datang sambil memegangi perutnya dan wajahnya sedikit pucat dengan napas yang sama-sama tak stabil. "Kalian lari cepat sekali, aku hampir memuntahkan semua makanan yang baru aku telan" keluhnya dan menauh telapak tangannya di lutut.

"Maaf" ucapku menyesal, aku benar-benar tidak mendengar panggilan mereka.

"Ada apa denganmu? Kenapa berlari seola-olah baru melihat hantu?"

Bukan, bukan hantu. Lebih menyeramkan menurutku. Aku belum sanggup menceritakan semua pada mereka karena aku pun masih meragukan apa yang aku ingat. Semuanya belum terlihat jelas di otakku.

"Oh tidak" sekarang giliran Seung Jae yang napasnya mulai terdengar normal tapi tidak dengan suaranya, dia menatap lututku dengan mata lebar "Ana! Lutut mu berdarah" serunya yang langsung menangkap lenganku, aku menunduk dan melihat perban di lututku yang mulai berganti warna menjadi merah, seketika rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhku.

"Ana, kita harus membawamu ke ruang kesehatan" Hanyoung memegang lenganku yang satunya. Padahal ketika berlari tadi aku tidak merasakan apapun. Sekarang melihat lututku beradah seperti ini aku jadi merasa ngilu sendiri.

"Harusnya kau lebih menjaga lututmu karena luka sebelumnya masih basah, dan kau malah menambah luka baru" ucap seorang dokter yang sedang melingkarkan perban di lututku. Wajah dokter itu terlihat manis tidak seperti wajah pria pada umunya, dia terlihat imut dengan wajahnya yang kecil dan bibirnya yang tipis. Tapi saat melihat tangannya yang cekatan menangani lukaku tangannya terlihat kekar dan sigap. Aku melirik name tag di jas putihnya disana tertulis nama Lee Sungmin "Selesai" serunya dengan senyuman. Dia kembali merapihkan perlatan miliknya.

"Kemana kedua temanmu?" Dia berdiri dan memandangi lututku.

"Ah, itu aku menyuruh mereka kembali ke kelas saja. Aku tidak mau mereka ketinggalan pelajaran" jawabku, dia mengangguk.

Untuk membunuh kesunyian aku memulai topik pembicaraan, aku hanya ingin menjadi orang yang ramah "Apa dokter biasa berada disini?"

"Tidak, biasanya asistenku yang berada disini, kebetulan aku sedang tidak ada jadwal mengajar"

"Mengajar?" Aku mengangkat alis.

Dia melihat kearahku. Aku segera menyembunyikan tanganku yang terasa masih bergetar Karena menahan sakit.

"Iya, aku salah satu dosen di Universitas Shinwa" dan ia kembali membereskan mejanya, aku mengangguk.

"Aku jarang melihat wajahmu, apa kau anak yang penyendiri?" Wajahnya terlihat ramah memandangku, aku marasa mulai nyaman menatapnya.

"Ya, lebih tepatnya penyendiri karena belum begitu lama bersekolah disini, aku anak baru" akhirnya aku baru bisa tersenyum setelah sekian lama menahan perih dilututku.

"Pantas saja, wajahmu terlihat sedikit berbeda" sekarang ia beralih pada laci transparan yang berada diatas kepalanya, mengatur letak beberapa obat.

Anabelle & The Golden Compass Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang