--16--

970 148 37
                                    

One day, someone will be 100% honest with you and will love you forever.




Bunyi dentingan sendok dengan cangkir teh menghiasi keheningan suasana di kamar kosan. Tangan gue masih sibuk mengaduk isi teh hangat dengan sendok secara perlahan. Sengaja mengulur-ulur waktu sambil menenangkan diri setelah mengalami momen di luar dugaan.

"Lama amat, Ra."

"Astaga." Gue nyaris menyenggol cangkir teh hangat di hadapan, saat menyadari Kak Kai tiba-tiba berdiri di samping gue dengan suara yang sengaja dia dekatkan ke telinga.

Saat gue menoleh dengan sorot mata tajam, laki-laki itu malah tersenyum membuat kedua matanya melengkung sempurna, seperti bulan sabit.

"Lo sengaja ya, ngulur waktu sambil ngaduk-ngaduk teh yang sebenarnya udah teraduk itu?" dagu runcing Kak Kai dikedikkan ke arah teh hangat yang masih belum berhenti gue aduk.

"Nggak, kok. Ini udah." Jawab gue datar—berusaha sedatar dan setengang mungkin—lalu mengambil cangkir dan berlalu meninggalkan Kak Kai.

Kak Kai lalu ikut mengekor di belakang sampai akhirnya kami sama-sama duduk di karpet ditemani cangkir berisi teh untuk Kak Kai dan cangkir berisi cokelat untuk gue. Kami berdua masih sibuk dengan lamunan masing-masing untuk beberapa saat. Sampai akhirnya, suara berat itu mengalah dan memecah keheningan.

"Ra."

"Kenapa Kak?"

"Maaf soal tadi—"

"Nggak papa, santai aja." Jawab gue sebelum mendengar penuh apa yang ingin Kak Kai katakan. Perasaan gue terlalu nggak enak setiap teringat bagaimana laki-laki di hadapan gue ini memeluk gue erat. Bagaimana Kak Kai berusaha menenangkan gue dengan menarik kepala ke dalam dekapannya, pun tanpa henti mengelus-ngelusnya.

Gue hanya takut kenyamanan itu semu.

"Gue belum selesai ngomong, tau." Kak Kai menyentil kening gue yang hanya terhalangi poni tanggung setengah. Alih-alih meringis, gue hanya membalasnya dengan tatapan cemberut.

"Gue nggak suka kalau lo udah bikin gue khawatir, Ra. Tapi entah kenapa, gue suka saat ngelihat lo rapuh. Karena itu artinya gue bisa berlagak jadi pahlawan buat lo meski sebentar."

Gue tidak menjawab apa pun pernyataan dia. Nggak, bukan karena gue nggak peduli. Tapi gue hanya takut terjerumus sama perasaan gue sendiri. Bukankah, jatuh terlalu dalam pada sesuatu itu, namanya terjerumus, kan? Gue takut terjerumus sendirian. Dan, hal yang paling gue takutkan dari terjerumus adalah tidak bisa bangun lagi.

"Dasar playboy, sayangnya gue nggak mempan ya Kak sama kata-kata lo."

Kak Kai tertawa kencang dan menenggelamkan kekehan gue yang terdengar dipaksakan ini. "Ra, astaga. Lo tau aja sih kalau gue lagi gombal?"

Lagi-lagi gue memaksakan tawa. "I know you so well, Kak."

"Fans ya?"

"Penguntit." Gue mengambil cangkir milik sendiri dan langsung menyesap isinya yang sudah hangat. Beruntunglah minuman ini bisa memberikan sedikit ketenangan atas jawaban Kak Kai barusan.

Tuh, kan, gue bilang apa. Mana bisa dia serius sama gue?

💔

Kai's PoV


Kantin di jam-jam segini memang terbilang sepi. Di ruangan seluas ini, yang kalau biasanya saat jam-jam makan siang nggak pernah menyisakan space untuk gue berjalan, malah sekarang hanya terisi 6 orang mahasiswa. Gue sendiri sibuk menyempurnakan skripsi untuk bimbingan satu jam lagi.

Move; Good Bye [KJI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang