01 - Pikulan Tanggung Jawab

88.7K 5.4K 201
                                    

Selamat datang. Enjoy sama pembuka cerita ini ya??

❄❄❄❄

Marisa kembali sengaja mematikan musik dengan irama lembut yang sedang berputar di ponselku. Mataku sontak mengerjab, kupandangi gadis cantik yang sekarang bergerak menyingkap gorden. Aku melenguh pelan kala mataku diterpa jutaan berkas cahaya, kugapai ponsel untuk bertemu tatap dengan angka enam lewat tiga puluh.

"Aku sampe capek ngingetin Mbak El," gerutunya seperti biasa. "Tidur Mbak El tidak akan berkualitas kalau lampu dibiarkan nyala dan ada musik yang terus menerus diputar. Dalam keadaan seperti ini, mata Mbak saja yang terpejam, Mbak tahu tidak kalau otaknya Mbak masih terus bekerja karena mendapat rangsangan semacam itu?"

"Tahu. Calon ibu dokter ini selalu ceramah tiap pagi soal kualitas tidur."

"Mbak El..."

Aku terkekeh saja menyaksikan bibir merengut milik Marisa. Kugelung rambutku asal, lantas kutendang selimut agar berhenti melilit tubuhku. Aku harus bekerja, dunia keras di luar sana sudah menanti.

"Mbak nggak bisa tidur saat gelap. Mbak juga nggak bisa tidur saat sepi. Kamu tahu itu, Ris."

"Tapi kenapa, Mbak? Kenapa harus terang dan kenapa harus ramai? Mbak El punya trauma? Trauma apa? Bilang sama Risa..."

"Ssst, yang penting Mbak sehat. Bagaimana pun cara Mbak tidur, yang terpenting adalah Mbak tetap sehat dan bugar buat kerja. Ya, kan?"

Marisa berkali-kali merajuk padaku karena keingintahuannya selalu kupatahkan dengan mudah. Masih dengan tatapan bingung dan sayunya, gadis dua puluh tiga tahun itu berderap meninggalkan kamarku. Sedikit membanting pintu, untuk menyuarakan rasa jengkelnya.

Kuhela napas kasar. Kakiku bergerak meraih handuk, lalu melangkah otomatis menuju kamar mandi. Di dapur, kulihat Marisa sedang membuat dua gelas susu coklat. Sebagai teman, untuk sepiring nasi goreng dengan aroma memikat. Perutku mendadak bergetar, terlebih saat melihat potongan-potongan kecil dari cabai yang tidak tergerus halus itu—aduh, pasti pedas sekali. Nikmat sekali.

"Hampir jam tujuh, Mbak. Buruan mandi."

Bibirku tersenyum miring. Kuanggukkan kepala ringan, lantas menghilang di balik pintu kamar mandi.

❄❄❄

Entah sejak kapan, aku dan Marisa berbagi tugas seperti sekarang. Aku yang mencari uang untuk memenuhi semua kebutuhan kami, sedang Marisa yang akan mengelola semua pengeluaran dan kebutuhan rumah mungil ini. Aku tidak perlu memasak, karena Marisa sudah mendeklarasikan diri sebagai satu-satunya chef. Yang paling menyebalkan adalah saat Marisa bilang masakanku tidak ada apa-apanya, jika dibanding dengan masakannya. Ck. Sombong sekali.

Tapi aku juga tahu bahwa itu hanya alasan Marisa saja. Dia tidak ingin melihatku memasak, karena dia tahu benar betapa lelahnya aku bekerja. Sampai dengan beberapa bulan yang lalu, aku bahkan harus mengambil dua pekerjaan sekaligus. Menjadi SPG sebuah produk gula tanpa kalori dan sales motor yang harus memenuhi target tiap bulannya. Kuliah kedokteran itu mahal, otak Marisa yang jenius saja tidak pernah cukup. Rumah Papa dan tanahnya yang sudah kujual juga tidak cukup. Itu mengapa, aku perlu memeras keringat sampai tersisa kering.

Semua berbanding sepadan. Setelah hampir lima tahun, akhirnya aku boleh mengambil jeda untuk sekadar bernapas dengan santai. Beberapa bulan yang lalu, adik kecilku ini sudah menyelesaikan skripsinya. Dia punya gelar sarjana kedokteran sekarang. Aku punya adik yang calon dokter. Dan tentu saja, Papa dan Mama akan sangat bangga memiliki anak yang jadi seorang dokter.

Masih beberapa langkah lagi untuk menjadikan Marisa sebagai dokter yang sesungguhnya. Aku akan bekerja keras lagi nanti, sekarang biarkan tulang kakiku sedikit bekerja dengan ringan.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang