Lebih banyak yang mengira kalau ini adisti ya? Adisti saya simpen dulu, keluar mendekati klimaks sajalah, supaya dia nggak terlalu banyak dapat hujadan.
❄❄❄❄
"Mamaaaaaa!"
Alen berteriak. Begitu keras, hingga mampu membuat jantungku pontang-panting berdetak. Mataku meneliti keadaannya. Tubuhnya yang kecil berusaha mendorong tubuh tinggi langsing milik seorang wanita yang baru saja ia panggil Mama. Aku ikut memicingkan mata di antara desisan tanda kesakitanku. Dia Nadira? Mantan istrinya Rajendra?
"Alen, jangan kurang ajar sama Mama," wanita itu balas mendesis penuh peringatan.
"Mama nakaaal," Alen terus berteriak seperti itu. Tangan yang beberapa menit lalu mengancamku dengan tinjuannya, sekarang sudah begitu semangat memukuli betis Mamanya. "Mama nakal. Mama pukul Tante El. Mama nakal." Teriaknya terdengar makin histeris.
Daripada terpaku pada rasa panas yang merayapi pipi, alih-alih aku terharu pada pembelaan Alen padaku. Di saat yang hampir bersamaan, aku disergap kecewa. Tidak rela karena anak seumur Alen harus disuguhi pemandangan seperti ini. Harus menemui Mamanya dalam keadaan yang dirundung emosi seperti ini. Aku takut psikis Alen akan semakin terluka.
Tanganku terus berada di pipiku yang rasanya terbakar. Baru kali ini aku mendapatkan hadiah tamparan. Jika hanya sebutan jalang, aku tak lagi terkejut. Aku sudah biasa mendapatkannya. Tapi perlakuan sekasar ini sukses membuat sebagian syarafku putus. Aku nyeri melihat Alen menangis. Inginku menarik anak itu dalam dekapan. Tapi aku tidak bisa. Selain aku kaku, aku juga cukup tahu bahwa Mama Alen tidak akan suka jika aku berusaha memeluk anaknya.
"Alen, dengerin Mama," ujar Nadira berusaha membujuk putranya. Dia berusaha memeluk, tapi Alen terus memberontak sekuat tenaga, "Alen, diam dulu..."
"Nggak mau. Mama nakal," sentak Alen lantas berlari dari usaha sang Mama. Berakhir menubruk tubuhku dan bersembunyi di baliknya.
Mataku terpejam. Harus bersikap seperti apa aku sekarang?
"Alen !!"
"Mbak, jangan main kasar." desisanku yang lolos. Aku muak pada Nadira yang tidak berhenti memaksakan kehendaknya pada Alen.
"Berani memberikan nada kurang ajar itu padaku, jalang?"
Aku mendengus, "Apa bedanya aku denganmu, Mbak? Jangan buat aku membuka kartumu di depan anakmu."
Persamaan yang kucetuskan, nyatanya berhasil mengundang tatapan penuh kobaran api. Kepalan tangan Nadira terkumpul jadi sesuatu yang tampak kuat. Kuharapkan, dia tidak menguasai satupun jurus-jurus pertahanan diri. Emosi yang memuncak dipadu dengan kemampuan dasar, bisa jadi sanggup mematahkan satu tulangku nantinya.
Aku juga balas menatapnya tajam. meskipun dia menyebutku jalang, tak terpikirkan sama sekali bahwa aku lebih rendah darinya. Aku tidak pernah melakukan perbuatan sehina itu. Berbeda, dengan Nadira, dialah seseorang yang pantas disandingkan dengan peribahasa, lempar batu sembunyi tangan.
Yeah. Semudah ini menghujat seseorang. Semudah itu pula, dia mengubur dosa besarnya dan mengingatkan orang lain soal dosa yang tak seberapa. Dibesarkan dengan budaya apa wanita ini, hingga tidak mengenal kata malu?
"Tante El, ayo... masuk."
Aku dan Nadira sama-sama menunduk pada Alen yang terus saja bergetar. Mendapati tatapan sang Mama, pinggangku makin dilingkari erat. Kupanjangkan jemari untuk meraih rambut anak malang ini. Kujanjikan perlindungan melalui usapan lembut.
"Alen, sini sama Mama, Nak."
Alen tak menyahut. Terus melingkari pinggangku erat. Saat pandanganku terangkat tinggi, kutemukan sesuatu yang berbeda dari Nadira. Kelereng hitam yang beberapa detik lalu hanya terisi kobaran amarah sekarang beranjak sendu, yang kusamakan sebagai sebuah penyesalan. Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, seperti itulah sikap Nadira kali ini. Telanjur membuat Alen takut, maka bersiap pula untuk membuat jarak dengan anaknya. Meminta maaf itu mudah, namun membuat Alen lupa bahwa sang Mama pernah bersikap sekasar ini, kupikir adalah sesuatu yang mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
Художественная прозаElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...