07 - Kamar Pekat

38.6K 5K 306
                                    

Ujungnya agak melenceng dari kesopanan gitu. Dikit kok, nggak banyak. Jangan marah-marah sama saya ya? 😀😀😀

❄❄❄❄

Aku sedang mengayunkan kakiku malas, tatkala beberapa dokter dengan wajah lelah melintas di hadapanku. Bau tajam dari obat berpadu sempurna dengan parfume mereka yang mahal. Meninggalkan sesuatu yang tajam, namun menenangkan. Tak ada tawa membahana, setiap langkah yang mereka ambil seolah terisi penuh oleh diskusi kasus yang sedang mereka tangani.

Itu mengapa aku tidak terlalu menyukai rumah sakit. Di sini terlalu mudah menjumpai mereka yang beruntung karena berhak mengenakan snelli putihnya. Hatiku picik sejak dulu. Aku iri setengah mati pada mereka yang bisa sampai pada tahap ini, sedangkan aku dipaksa berhenti pada mula perjuanganku. Rasa-rasanya aku ingin marah pada siapapun yang sudah menjadikan cita-citaku kandas begitu saja.

Tapi lagi-lagi, siapa yang harus kusalahkan?

Bukan pada semua teman yang kompak menjauhiku. Bukan pada Papa yang kecewa lantas berpuasa tersenyum padaku. Bukan pula pada Rajendra yang merasa dikhianati lantas berbalik pergi, berhenti mencintaiku. Kalaupun aku ingin marah, aku hanya ingin melakukannya pada satu orang.

Dia yang terdekat, yang paling mungkin menghancurkanku. Sayang, aku tak memiliki bukti apapun. Semua sebatas praduga dalam benak. Dia bermain cantik. Tak ada yang akan mempercayainya sebagai pelaku atas semua fitnah tentangku yang tersebar. Tidak ada yang mempercayai bahwa dia telah membawaku menuju kelab, sementara ibunya mengatakan dia di rumah sepanjang malam.

"El?"

Rajendra menyusulku di bangku-bangku taman. Alen masih tertinggal di belakang, berlari kecil dengan seluruh wajahnya yang tersenyum. Bibirku ikut melengkung. Tak lama, anak kecil nan menyebalkan itu sudah menubruk tubuhku.

"Tante El, tangan Alen sudah sembuh dong. Nggak usah digendong lagi," katanya melapor.

Hari ini gips di lengan Alen memang sudah boleh di lepas. Memang sudah sembuh, hanya saja aku yakin masih memerlukan pengawasan dari dokter. Melihat bahagianya Alen, ada sesuatu yang lolos dari jantungku. Mungkin, segelintir tanggung jawab yang mulai luntur pada dia yang tidak sengaja disakiti oleh adikku.

Lembut, kuusap rambut Alen. "Setelah ini, jangan nyeberang sendirian. Minta tolong sama orang dewasa. Sama Papa, sama Bu guru, pokoknya nggak boleh nyeberang sendirian. Oke?"

Alen mengangguk, "Mama lari waktu itu, Alen mau kejar. Terus kakak nakal nyeruduk."

"Namanya Kak Risa, Len." Rajendra mengoreksi.

"Bukan, namanya kakak nakal."

Aku tertawa saja, Rajendra mengacak tatanan rambut Alen yang baru saja kubenahi beberapa menit yang lalu. Riuh tepuk tangan membuat Alen memutar leher. Di sisi sebelah air mancur sepertinya sedang ada perayaan. Banyak anak-anak, orang dewasa, bahkan perawat dan dokter yang berkerumun di sana. Kuduga, anak seumuran Alen dengan kupluk biru itu sedang mengingat hari jadinya. Alen, tanpa pamit sudah berlari. Ingin ikut bernyanyi katanya.

Tersisa aku dan Rajendra. Dua orang dewasa yang tidak tahu harus melakukan apa selain bungkam satu sama lain. Sejak awal aku memang berlaku datar pada Rajendra. Tidak melulu defensif, tapi tetap berusaha meneguhkan jarak. Berbeda dengan pria ini. Pertemuan pertama, dia memukulku telak dengan kebenciannya. Setelah itu, dia perlahan berubah. Aku tak berani menyebutnya dengan pasti. Hanya saja kupikir dia melembut, mungkin beranjak merasa bersalah.

"Jadi kamu belum menikah, El?"

Kurasakan Rajendra tengah memandangiku. Kepalaku menggeleng. Tidak perlu bertanya, dia  harusnya sudah menggenggam jawaban. Aku tidak akan di sini, dan bersama dia dan putranya kalau sudah menikah.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang