08 - Tawaran Masa Depan

39.7K 4.8K 515
                                    

Ku nggak pede sama part ini, coba. 😢😢

❄❄❄❄

"TANTE EL."

Teriakan itu kembali sukses mengusirku dari alam mimpi. Mataku tersingkap lebar, dan disambut sesuatu yang kukenali sebagai bahu bidang. Aku sukses terhenyak, begitu sisa-sisa ingatan tentang kejadian semalam datang untuk mengejekku. Jantungku paham, lalu kembali bertalu hebat. Sontak, aku berusaha membuang jauh-jauh lilitan tangan Rajendra.

"Hei, lepasin," desisku tak seberapa keras. Tak ingin mengundang langkah kaki Alen. Tak ingin aku tepergok dalam keadaan seperti ini. Apa yang akan dipikirkan anak itu saat menyaksikan aku berada di atas ranjang bersama Papanya yang begitu menggoda ini?

"Rajendra, lepas."

Tanganku kaku di antara tubuhku dan Rajendra. Mau di apakan? Mendorong Rajendra dengan tangan ini? Aduh. Jangan gila. Sama saja aku menyentuh dadanya, menyentuh perutnya. Ya Tuhaaannnn. Deru napas Rajendra kian membuatku merinding.

"Lepas atau kubunuh, brengsek?"

Rajendra sudah bangun, hanya saja dia terus berpura-pura terlelap. Aku yakin sangat. Tidak ada orang tidur yang mengetatkan pelukannya seperti ini. Ya Tuhan. Tidak cukup dengan tangan kosong, seharusnya aku membawa pisau untuk membunuh Rajendra tadi malam.

Aku tidak bisa diam, memberontak yang terus saja dibalas dengan dua kali lebih erat dengan pelukan Rajendra. Otakku muak. Batinku berkhianat. Ada kalanya, aku ingin memastikan dia sedang tersenyum penuh kemenangan atau senyum lembut penuh kelegaan. Tapi semua itu tidak bisa kulakukan. Dagu Rajendra mengunci ujung kepalaku. Dia hanya mengijinkan mataku memandangi bahu dan kulit kecoklatannya.

Bunuh saja aku sekarang, Tuhan.

"El?" panggilnya dengan suara serak.

Kan, dia sudah bangun. Dasar Rajendra brengsek.

"Kamu kacau semalam. Trauma? Karena malam di—"

"Jangan banyak bicara. Lepasin aku sekarang."

"Ampuni aku, El. Aku memang brengsek."

Mataku terpejam rapat. Apa boleh aku menyalahkan Rajendra? Trauma ini, bukankah berasal dari diriku sendiri yang tak seberapa kuat menahan gempuran? Andai aku bisa tak acuh, ketakutan semacam ini pasti enggan bersarang di dalam benak.

"TANTE EL?"

Alen kembali berteriak di bawah sana. Sementara Rajendra makin membuatku gila dengan pelukannya.

"TANTE. Alen lapar..."

Habis sudah kesabaranku.

"Arght. ELVIRA !" sekarang Rajendra yang berteriak. Aku menggunakan kesempatan ini untuk meloncat sejauh mungkin dari pria gila itu. "Sejak kapan kamu hobi nggigit??" tambahnya mendesis.

Aku mendengus. Mataku terus melesakkan panah tajam pada Rajendra yang kini sibuk mengusap bahunya. Aku lepas menggigit bahu itu tadi. Jangan tanyakan bagaimana rasanya? Aku tak sempat menjulurkan lid—

Tuhannnnn. Otakku bermasalah.

"Sejak sekarang !" kataku balik membentak setelah kewarasanku kembali berkumpul. "Jadi, jangan macam-macam kalau tidak mau—"

"Oke. Aku akan macam-macam, supaya bisa kamu gigit lagi."

Tentu saja aku salah memberikan ancaman. Aku mendesah jengkel. Sudah, abaikan saja Rajendra yang kini sedang memamerkan senyum paling mengerikan yang ia punya. Kakiku berlari keluar. Supaya lebih dramatis, kubanting pintu kamar Rajendra dengan keras. Tawa Rajendra berlari turun mengejarku, mengejekku.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang