Ini akan ngedrama sekali, nantinya. Prepare antimo sama kantong plastik ya? 😆😆😆
❄❄❄❄
Tatapan matanya masih sama, tidak berubah sejak sepuluh tahun yang lalu. Tajam, juga sarat kekecewaan seperti kali terakhir aku melihatnya. Jantungku berdebar hebat, lebih ke perasaan takut dibanding sakit hati. Begini saja, kaki-kakiku terus bergetar. Hendak membuang pandangan sekadar menghindari tatapannya saja begitu sulit kuwujudkan.
Bernapas yang seharusnya bisa kulakukan tanpa berpikir, entah mengapa amat begitu sukar kukerjakan saat ini. Berkali-kali kucoba, namun tetap tidak ada kelegaan yang kudapat. Selama sepuluh tahun ini--selama pergi meninggalkanku, apa dia sama sekali tidak mencari tahu kebenarannya? Apa sampai sekarang pun dia masih saja menganggapku jalang?
Ah. Sepertinya iya. Dua tangannya sudah mengepal erat di sisi-sisi tubuhnya. Tinjuan itu bukan untuk menghantamku, alih-alih untuk menghantam tembok seperti yang ia pamerkan sepuluh tahun lalu di depan mataku. Senyumku tersungging kecut.
"Papa?"
Kesadaran berbondong-bondong menyerbu tubuh hanya karena mendengar suara Alen. Merasa atmosfir di sini begitu panas, kuputuskan menjauh dari Alen. Mencari jarak paling jauh dari dia yang tidak berhenti menghunuskan tatapan itu. Kakiku masih bergetar, tanganku terus meremas satu dengan yang lainnya.
Sepuluh tahun sudah berlalu Elvira. Jangan terpengaruh lagi.
"Papa dari mana? Mana Mama?"
Kudengar suara hentakan langkahnya. Ingatan tentang cita-citanya menjadi tentara yang harus kandas karena dia pernah memiliki riwayat patah di bagian lengan membuatku tersenyum kecut lagi. Alen, semoga dia tidak pernah memiliki cita-cita serupa Papanya. Alen, semoga tidak akan kecewa karena ulah Marisa.
"Mama pulang dulu, ambil mainannya Alen. Sekarang Alen di sini sama Papa, oke?"
Benar. Sepuluh tahun ini, dia sama sekali tidak sibuk memikirkanku. Dibanding mencari tahu kebenarannya, dia sepertinya sibuk mencari penggantiku. Tentu saja harus wanita baik-baik, tidak boleh yang jalang. Dan sekarang, dia sudah menemukannya. Dia sudah sempurna dengan keluarga kecilnya.
Lalu bagaimana dengan kelanjutan hidupku sendiri? Issh. Menyebalkan.
"Papa selalu bilang, jangan bicara dengan orang asing. Kenapa Alen ngelanggar aturan Papa sekarang?"
Orang asing?
"Maaf, Pa," pinta anak kecil itu dengan sungguh-sungguh. "Tante nggak nakal kok. Kakak itu yang nakal."
"Tante juga nakal, jangan bicara apapun lagi dengannya."
Aku tidak tahu seberapa banyak dia membenciku. Tapi tidak seharusnya dia meracuni otak anaknya seperti ini. Aku tidak akan melukai Alen. Oke. Marisa memang sudah melukai Alen. Napasku berembus kasar.
"Nggak Pa. Tante nggak nakal," tegas anak itu seolah merajuk. Sempat-sempatnya kusunggingkan senyum. "Rambut Alen diusap-usap tadi, Alen juga dikasih coklat. Tante baik, kakak itu yang nakal."
"Sudah-sudah. Sekarang kamu tidur."
"Belum gosok gigi, Alen habis makan coklat."
"Tunggu di sini, Papa ambilkan sikat dan gelasnya."
Pria yang dulu mengisi hari-hariku sekarang sudah hilang di dalam bilik kamar mandi. Untuk itu, aku berani mengangkat pandanganku sekarang. Kusunggingkan senyum pada Alen yang juga menatapku dengan lengkungan bibir yang sama. Setelah Marisa, sepertinya hanya dia yang mempercayaiku dengan benar.
Berhubung si brengsek itu juga belum kembali, kularikan mataku pada Marisa. Dia tidak terkejut, sepertinya tidak mengingat siapa laki-laki ini. Tapi benarkah begitu? Marisa sudah SD, seharusnya sudah memiliki daya ingat yang kuat. Mungkin karena penampilan pria ini sudah sangat berbeda sekarang. Celana bahan dengan kemeja hitam, tatanan rambut rapi, juga raut yang bengis bukan sama sekali ciri khas pria ini sepuluh tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
Fiksi UmumElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...