Aku mengayunkan kaki tanpa semangat. Membelah gelap, sesekali berucap sapa pada beberapa tetangga yang kukenal. Kuusahakan senyum terukir di wajahku, kendati suasana hatiku tidak ada bedanya dengan pekat malam ini. Mendung, tidak ada satu pun gemintang yang menerangkan ruang.
Berbeda dengan keadaan langit, rumahku alih-alih lebih benderang dari biasanya. Aku terpaku sejenak. Ingat dengan pasti, bahwa bohlam 8 watt itu telah berganti dengan bohlam putih 21 watt. Tersangkanya sudah pasti adalah Rajendra. Dia bersikeras ingin membuat rumah ini lebih aman dengan keadaan terang, tapi lupa pada kenyataan bahwa aku harus membayar rekening listrik lebih banyak pula untuk semua ingar bingar lampu ini.
Dia terus saja seperti itu. Sok paling tahu mana yang terbaik untuk hidupku.
Kuhela napas. Lagi, berusaha menjauhkan nama Rajendra, Alen, maupun Fadi dari setiap kedipan mata. Aku lelah sekali hari ini, aku ingin istirahat dan tidur nyenyak di kamar yang telah lama tak kutempati.
"Mbak El, kok pulang?"
Tak pelak, aku tersenyum malas. Pulang ke rumah sendiri, namun disapa dengan terheran-heran seperti ini adalah sesuatu yang miris. Apa Marisa tidak suka kepulanganku? Apa dia lebih suka aku sekadar mampir, lalu pergi saat Alen sudah mengantuk?
Aku menutup pintu sebelum menjawab, "Alen nggak ada di rumah. ikut Mamanya, jadi Mbak izin mau istirahat di rumah."
"Oh," Marisa manggut-manggut penuh ejekan. Sempat pula gadis itu berbagi senyum penuh arti dengan Maya. "Kalau nggak ada tuh bocah satu bukannya malah bagus mbak ya? Kan bisa pacaran tanpa gangguan." Katanya, lantas berbagi kerlingan dengan Maya.
Bola mataku berputar jengah pada dua gadis yang terlihat sedang berdiskusi beralaskan sebuah karpet. Sibuk menyantap buku, membuat mereka mengabaikanku dengan mudah.
Kuputuskan untuk sesegera mungkin mengubur diri dalam kamar. Belum juga meninggalkan ruang tamu sederhana, aku menyadari ada yang berbeda dari dinding rumahku. Yang sebelumnya hanya berisi dua figura—fotoku bersama Marisa juga foto Papa bersama Mama—sekarang kedatangan empat figura baru.
Seolah ada tarikan yang membawaku mendekat. Seolah ada magnet yang mengharuskanku untuk mengamati lebih dalam. Empat foto pendatang baru berisi potret Marisa, potret Marisa bersama sahabatnya, potret Marisa bersamaku, juga... potret Marisa bersamaku, Alen, juga Rajendra. Seluruhnya berhasil meninju ulu hatiku. Membuat mataku memanas, padahal kuyakin tidak bara yang menganga di dalamnya.
"Aku sengaja masang foto-foto itu di situ. Bagus kan, Mbak El?"
Tanpa membalikkan punggung, aku mengangguk. Aku menyukainya. Itu cantik saat jatuh di mataku. Hanya saja menyakitkan di jantungku.
"Sumpah deh, Mbak El. Aku seneng ada foto-foto itu di sana," gumam Marisa yang membuatku menggigit bibir. "Awalnya kupikir aku cuma bisa wisuda bareng Mbak El aja. Aku cuma akan punya tiga foto, aku sendirian, aku sama Mbak El, lalu aku sama temen-temen. Tapi syukur deh Mas Jendra sama Alen datang. Mereka bikin koleksi fotoku makin banyak. Mereka bikin aku terlihat nggak seberapa menyedihkan, karena cuma punya Mbak El dan temen seperjuanganku ini."
Kata demi kata yang terlontar dari bibir Marisa tak ubahnya sebuah racun mematikan dalam coklat manis yang kuteguk. Aku tersenyum di awal, menahan tangis si ujung. Aku bersyukur mula pertama, tapi kesakitan di detik akhir. Kuat, kuremas tanganku. Berusaha memindahkan sakit yang bersarang di benakku.
Tidak terbantahkan, aku sempat merasakan kebahagian melalui hari bersama Rajendra dan Alen. Hari-hariku yang semula hanya berisi Marisa dan bekerja, mendadak berwarna saat memutuskan berbagi hari bersama mereka. Sayang, aku tak berhati-hati. Melepaskan diri begitu saja, menggunakan perasaan untuk segala hal.
![](https://img.wattpad.com/cover/130447555-288-k674360.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
Genel KurguElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...