17 - Motif Hitam

32.1K 4.4K 304
                                    

"Setahuku, yang biasanya merengut pas mau berangkat sekolah itu anaknya. Kenapa sekarang yang merengut calon ibunya?"

Aku sontak melirik tajam. Rajendra ini, diberi hati malah ngelunjak. Dia suka seenaknya saat bicara. Calon Ibu, dia bilang. Kalau Alen mendengar dan salah menerjemahkan bagaimana?

"Maaf," dia tersenyum ke arahku. "Kamu baru protes soal ini pagi tadi. Nggak mungkin kan kita lepasin Alen sekarang juga? Dia perlu pemahaman. Perlu diberi banyak sekali motivasi supaya berani sekolah sendiri. Aku janji akan bujuk dia. Sampai dia setuju untuk tidak lagi ditunggui, kamu jagain dia dulu ya?"

"Hm."

"Cantik," dia memuji entah bagian mana. "Jangan terlalu gaul sama ibu-ibu genit di sana. Jangan didengerin kalau mereka udah mulai bicara yang nggak ada manfaatnya. Mereka—"

"Uh, berhenti cerewet dan buruan buka pintunya!" sengitku kasar. Tidak betah juga aku berlaku seperti barbie. "Alen, buruan salim sama Papa. Kita hampir telat."

Anak itu patuh. Seolah cukup paham, bahwa aku berada dalam mode tidak bersahabat. Tidak ada drama apapun antara aku dan Rajendra. Jangan berpikir soal cium kening, dia berani menahan tanganku barang sedetik saja, kujamin aku akan mengamuk saat itu juga. Dia melepasku dengan senyum, dia berjanji akan pulang lebih awal.

Kukatakan dengan keras, aku tidak terlalu peduli.

Begitu Alen masuk ke kelasnya, kuhempaskan tubuhku di kursi kayu yang jaraknya jauh dari para gerombolan ibu-ibu. Aku memilih sibuk dengan ponsel. Mengirim pesan pada Marisa, atau sekadar berselancar di akun gadis itu. Tetap. Aku harus tahu kabarnya, meski sepanjang hari aku terus bersama Alen.

Syailendra.

Menurut penuturan Rajendra, Alen sudah sekolah di sini hampir lima bulan. Dari yang kulihat, Alen bisa berbaur bersama temannya dengan sangat baik. Komunikasi dengan wali kelasnya yang cantik juga lancar. Dan tiga hal ini meyakinkanku bahwa seharusnya Alen tidak lagi perlu ditunggui secara nonstop. Cukup di antar, lantas saat pulang kembali dijemput. Jika aku terus di sini, menemaninya sekolah sepanjang waktu, kapan Alen benar-benar bisa mandiri?

"Mbak, mbak?"

Aku menoleh. Wanita pertengahan tiga puluh yang pernah menghampiriku, makin hari juga makin tidak punya muka. Dia sering bertanya banyak hal tentang Rajendra. Dia pernah merayuku untuk memberikan nomor Rajendra. Dan paling gila, dia pernah menitipkan sebuah rantang, yang harus kuberikan pada tuanku.

Ini pula yang membuatku malas berlama-lama di TK ini. Terlalu banyak ibu-ibu yang mengidolakan duda itu. Dan, aku tidak suka. Tidak suka karena jadi call centre untuk semua rasa penasaran mereka. Itu saja.

"Nanti Papanya Alen jemput nggak ya?" tanyanya. Aku menahan putaran mata.

"Beliau nggak bilang, Bu. Sepertinya tidak."

"Yah," dia mendesah kecewa. "Ya sudah. Nitip ini saja ya?" dia mengangsurkan sebuah goodie bag dengan motif batik.

"Apa ini, Bu?"

"Oleh-oleh. Saya habis liburan ke Lombok weekend kemarin. Jangan lupa, bilang kalau ini dari Mamanya Monik."

Aku manggut-manggut, "Mamanya Monik. Nanti saya sampaikan."

"Tapi kayaknya Papanya Alen belum kenal sama saya, deh."

"Oh, lalu?"

Senyumnya tersungging centil. Jemari lentik dengan hiasan kutek soft pink itu mencari sesuatu di dalam tasnya. Yang keluar adalah selembar foto, "Supaya Papanya Alen nggak salah ngenalin, jadi berikan oleh-oleh itu bersamaan dengan ini. Jadi biar Papanya Alen segera kenal saya dan Monik. Gitu mbak ya?"

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang