Dunia Harus Tahu

43.5K 4.4K 621
                                    

Hallooooooooo semua?? Saya nongol lg, maafkan. 😁😁

Saya cuma mau nganterin Alen, yang katanya mau nemenin malam minggu onty-onty yang jombs kok.

Dan, please. Jangan cari Adit dan Adel di lapak sy yang lain ya? Mereka ada di tv soalnya. Syuting bareng Sopo Jarwo. 😁😁

Enjoy, ekstra part 1 nya ya??

❄❄❄❄

Aku sering mendengar namanya disebut.

Kata Adisti dia adalah gadis cantik dengan segudang prestasi. Kata Adisti dia serupa malaikat tanpa sayap, memamerkan senyum tatkala menarik ia untuk bermain bersama di dunianya. Kata Adisti dia adalah bentuk kesempurnaan yang menemani ia menutupi lubang kecacatan hidup.

Hatiku penasaran sejak itu. Ingin tahu lebih banyak soal gadis cantik yang jadi teman terbaik Adisti. Hingga Tuhan mengatur satu hari untuk jadi di mana mataku tercengang saat menemukannya. Gadis dengan rok abu-abu dan senyum lebar yang meneriakkan ketulusan.

Ah, jangan dipikir bahwa aku langsung tergagap begitu melihat gadis itu memamerkan barisan gigi biji mentimunnya di depanku. Linglung atau terhipnotis, bukan itu reaksi pertama kali saat menjumpainya. Tubuhku masih jadi kendaliku. Wajahku sekadar menghadirkan senyum ramah. Hari itu, dia masih jadi sekadar sahabat Adisti. Gadis terdekat, yang membantu Adisti dengan susahnya sebuah adaptasi. Hari itu, dia belum jadi siapa-siapa di hatiku. Dan kalau boleh, dia kuanggap bagai adikku sendiri.

Dan kini segalanya berubah. Dia adalah awal untuk setiap kalimatku. Dia adalah penutup untuk setiap ujaranku. Dia adalah lantaran, aku memulai. Dia adalah tujuan di mana aku berakhir.

Elvira  Mahajeng.

Sekali lagi aku menggumamkan namanya dari dalam hati. Seandainya punya bibir, jantungku pasti akan terus melengkungkan senyum. Seandainya punya kaki, kepingan darahku  mungkin sudah berlari untuk membawa tubuhku supaya tak pernah berjauhan dari si pemilik nama cantik.

“Mas?”

Aku mengerjab. Lamunanku buyar, “Apa?”

“Sudah cerita sama Mbak Dira soal kita, ya?”

“Sudah. Kamu udah ditelepon sama dia, kan?”

“Hm. Aku diberi pencerahan, masa.” Katanya dengan senyum geli. “Dia nawarin aku kebaya, ambil nggak?”

“Dari kamu, El. Mau nggak pakai punya dia. Aku nggak memaksa.”

Elvira diam sebentar, tengah mempertimbangkan masalah kebaya yang akan ia kenakan untuk hari besar kami dua minggu ke depan. Tarikan napasnya panjang. Tanpa melapor padaku, dia langsung memberikan checklist pada daftar persiapan pernikahan kami yang akan dibuat sederhana. Artinya dia setuju, meski itu berasal dari Nadira.

Sementara wanita kesayanganku mengabsen segala tetek bengek soal pernikahan, lagi aku mengajak hatiku untuk bergerak mundur. Mengingat lagi, bagaimana gadis rok abu-abu ini makin terlihat menakjubkan tiap harinya. Supel, ringan tangan, hingga membuat Ibu jatuh hati. Juga jangan lupakan betapa dua belah bibir itu selalu murah berbagi senyum, hingga tak sadar jantungku sudah pontang-panting dibuatnya.

Jungkir balik aku mendekati gadis ini. Siang malam, aku gencar merebut perhatian seorang Elvira. Coklat, bunga, dan segala macam benda sudah kujadikan senjata. Dan semuanya patah. Tahu, apa yang bisa meluluhkan seorang Elvira? Hanya perhatian, hanya waktu senggangku tiap kali dia mengeluh oleh tekanan ‘jadi dokter’ yang di dapat dari sang Papa.

“Mas?”

“Hm.”

“Nggak usah bikin pesta aja gimana?” cetusnya dengan menggigit bibir. “Kita tetep nikah. Tetep di rumahku. Tapi nggak usah bikin pesta di rumahmu. Gimana?”

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang