19 - Lidah yang Berujar

29.4K 4.3K 506
                                    

Saya nggak lelah kok sama Jendra. Percaya kan? 😁😁

❄❄❄

"Kupikir kamu wanita baik-baik ya, El. Ternyata, munafik."

Nadira kembali menghampiriku di sekolah Alen. Tanpa senyum, kali ini dia langsung menyemburku dengan sebutan keji tak beralasan. Beberapa ibu-ibu yang duduk tak jauh dariku, mendadak menoleh ingin tahu.

Ketakutanku jadi nyata. Wanita bertempramen labil ini berhasil mempermalukanku.

"Kamu ngadu apa sama Jendra?" Dia memelankan suara sekarang. Tapi itu tak berarti apapun, nyatanya semua orang sudah menatapku dengan kerutan jijik. "Semalam Jendra nelepon, marah-marah karena katanya aku sudah memperkeruh otakmu. Memangnya aku ngapain kemarin, El?"

Kuhela napas panjang. Aku tak berusaha mengadu domba. Aku hanya menyampaikan apa yang kupikirkan setelah mendapat banyak rahasia dari wanita ini. Rajendra menyimpulkan sendiri. Saran yang bagiku memiliki arti penuh pengertian sesama wanita, entah bagaimana bisa Rajendra terjemahkan dalam arti lain.

Atau pada dasarnya memang Nadira lah yang bermasalah?

"Saya nggak maksud kayak gitu, Mbak. Kemarin—"

"Asal kamu tahu ya, El. aku dan Jendra itu berpisah dengan keadaan tidak baik-baik. Sudah setahun, aku berusaha mencari maaf pria itu. Semua yang kulakukan belum juga benar di mata Jendra, dan sekarang kamu malah makin menjelekkan namaku. Aku nggak mau balikan sama dia. Cuma tolong, jangan bikin citraku makin jelek. Itu bisa berpengaruh ke hubunganku sama Alen. Atau kamu memang sengaja membuatku jauh dari Alen ya?"

Ah. Kepalaku kian pening. Semalam, aku hampir tidak tidur dan sekarang aku harus disibukkan dengan tuduhan yang tidak jelas asal mulanya. Apa salahku?

"Saya capek, Mbak. Saya minta maaf kalau salah. Tapi serius, saya tidak bermaksud seperti itu. Mungkin ini salah paham, nanti saya coba jelaskan sama Mas Jendra."

"Nggak maksud bagaimana? Jelas-jelas—"

"Itu urusan kalian berdua," Selaku sengit. Teramat muak, aku beranjak dari duduk, "Saya pergi. Tolong pamitkan sama Alen."

Dia tidak lagi mengatakan apapun. Bola matanya terus menyiratkan kekesalan, hingga pada akhirnya memilih berdecih di depanku. Emosi dalam diri, kutahan sekuat tenaga. Aku menyimpan satu goodie bag yang berisi beberapa mainan Alen di hadapan Nadira. Tak dilirik, aku bergegas pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

Ibu-ibu yang kemarin masih bisa tersenyum ramah padaku, sekarang memberiku tatapan yang ganjil. Ada yang menatapku kasihan, ada pula yang memberiku tatapan seolah aku ini tak lebih dari orang ketiga. Memilin tali tas yang tersampir di bahu, aku berdiri kaku di tepian trotoar. Memandang nyalang, menunggu apapun memberiku tumpangan.

Hatiku terus mengingat-ingat pesan Nadira siang kemarin. Meraba tiap kali wanita itu memandangku, aku hanya melihat dua hal di bola matanya yang coklat tajam. Iri bahkan juga cemburu. Dugaan ini tak mungkin meleset. Aku juga wanita. Aku mengerti benar bagaimana sesamaku bertingkah.

"Hidup sama kamu susah, Mas. Maaf."

❄❄❄

"Kenapa kita ke sini?"

"Katanya kamu mau ngomong. Di sini aja."

"Sambil nonton?" kataku mendengus, "Buang-buang uang sama waktu. Orang aku cuma mau ngomong singkat kok, Mas."

"Kalau di kantor, ada Dwi sama Lala yang mungkin akan nguping. Lagian, aku memang rencana ngajak kamu jalan sejak dulu, kan? Tapi selalu gagal karena anak majikanmu itu nggak berhenti ngekorin kamu ke manapun."

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang