18 - Di Balik Kisah

32.6K 4.3K 366
                                    

Alen sedang merangkai jalan kereta api ukuran mini, saat Rajendra datang untuk mengacak pekerjaan anaknya lantas bergabung denganku di sofa. Pria yang pagi tadi berjanji akan pulang lebih awal, nyatanya baru menginjakkan kaki di rumah pada pukul tujuh malam. Kini, aku bisa melihatnya segar tanpa beban. Bisa mencium aroma semangat yang menghentak-hentak.

"Apa?" senyumnya mengembang saat aku menyerahkan titipan goodie bag. "Kamu ngasih aku kado, El? Ya—"

"Mimpi sana. Itu oleh-oleh dari Mamanya Monik," potongku sengit. Wajah berseri-seri miliknya seketika lenyap. Dia tampak kesal sekarang.

"Ck. Siapa Mamanya Monik?"

"Ibu temennya Alen. Ada fotonya di dalam."

"Foto?"

"Iya. Biar kamu bisa segera kenal Monik dan Mamanya."

Rajendra bergidik ngeri. Menyambar goodie bag bermotif batik itu, dan kemudian melemparkan ke udara hingga jatuh tepat di atas keranjang sampah. Aku menatapnya jengah, dan pria itu hanya tersenyum menyebalkan. Ini bukan kali pertama. Bukan lagi waktu yang tepat untuk berceramah soal tidak baik menolak rejeki. Karena Rajendra punya prinsip lain.

"Aku itu akuntan, El, Auditor. Pantang nerima hadiah-hadiah pemulus begitu."

"Lebay, dia bukan klienmu."

"Tapi dia mengharapkan sesuatu dari diterimanya hadiah itu. Jadi, kalau dia nitip lagi, langsung ditolak aja."

"Hm."

"Nanti kamu kalau sudah jadi istriku juga harus hati-hati. Kalau ada yang bertamu, dan tiba-tiba membawa tas cantik, jangan mau. Bilang, di kamar sudah ada sepuluh, gitu."

Aku tak memperpanjang debat. Tak memiliki nafsu untuk meladeni kebiasaan kami akhir-akhir ini. Jika aku hanya sibuk memikirkan gerangan apa yang sedang Adisti lakukan, maka Rajendra memainkan apapun yang bisa ia mainkan. Rambut hitamku, puncak kepalaku, dan sekarang ekor mata. Jangan dikira aku tidak menepis. Aku melakukannya, sayang Rajendra tiga kali lebih keras kepala.

"Berkerut, El, di sini," ujarnya seraya mengusap-usap ekor mataku.

"Biarin aja."

"Ayo nikah."

"Sana, sama kambing."

"Biar bebanmu berkurang setengah. Di ujung mata sama dahi ini biar nggak terlipat-lipat karena berpikir keras terus. Kalau dibagi sama suami jadi ringan loh."

"Nggak usah ceramah. Kamu aja nggak pernah berbagi apapun sama Mamanya Alen. Sana minggir."

Pria itu tertawa. Menepuk puncak kepalaku, lantas memenuhi panggilan dari Alen yang memang memerlukan bantuan. Sejenak, tidak ada yang mengusikku. Otakku benar-benar tertuju pada Adisti. Bukan untuk memikirkan kejahatan apa yang sudah ia lakukan. Saat ini lebih penting untuk membaca rencana yang sekiranya sudah gadis itu susun secara diam-diam.

"Papa, Alen mau robot."

"Robotnya Alen yang dulu mana?"

"Robot dulu jalannya lemes, Alen nggak suka."

"Papa ganti baterainya saja ya? Nanti jalannya nggak lemes lagi."

"No. Mama mau beliin."

"Mama?" Rajendra menautkan alis. Merangkai cerobong, dan badan kereta yang panjang. "Alen nelepon Mama? Kapan?"

Kendati aku terlihat seperti melamun, nyatanya suara Alen dan Rajendra juga tidak luput dari proses otakku. Ah. Andai bisa meledak, sudah hancur berkeping-keping otakku ini

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang