10 - Sapaan

38K 4.6K 413
                                    

Untuk pertanyaan absurd kemarin, maafkan saya ya. 😀😀

Itu cuma pengen ngasih dikit gambaran aja posisinya si Jejen. Dia harus nurutin ibunya. Dia juga terpaksa bikin El benci sama dia, karena masalah Adisti. Jendra pikir, kalau El benci sama dia, maka El akan lebih gampang nyari sosok yang baru.

Ternyata kok ya mentog. Duh.

Jendra belum bisa ngotot sepuluh tahun yang lalu, sekarang sudah bisa. Jadi berikan dia kesempatan, boleh? 😉😉😉

❄❄❄❄

Kamar Alen sedikit berbeda sekarang. Dinding luang di atas kepala ranjangnya, dialihfungsikan sebagai media memajang foto sang Mama. Aku menggunakan kemampuan dan bahan yang seadanya. Benang yang cukup tebal juga penjepit baju yang kucuri di ruang laundry. Aku malas keluar, lebih malas lagi mengeluarkan modal. Meminta tolong pada Rajendra, itupun sesuatu yang sia-sia. Pun aku sangat malas berbicara dengan pria itu.

Aku bergerak mendekati jendela. Menyingkap gorden, lantas membiarkan jutaan berkas matahari berlari masuk. Anak kecil yang bergelung di bawah selimut itu tidak sama sekali terusik. Wajar saja. Lebih dari dua minggu ini dia tidak pergi sekolah. Aku dan Rajendra membiarkan Alen bangun kapanpun dia mau. Sekarang Alen keenakan.

"Alen?" panggilku lembut. Jangan membentak, kasihan jika anak sampai terkejut bahkan saat kesadarannya belum terkumpul. Kasihan lagi, jika harinya di mulai dengan suatu paksaan.

"Alen. Sudah siang loh. Katanya mau sekolah."

Tidak membuka mata, anak itu alih-alih malah mengetatkan selimut. Tanganku yang menepuk-nepuk pipi gembul itu, tidak mengusik kedamainnya sama sekali. Padahal seingatku, Rajendra selalu bangun pagi. Selalu mudah terjaga meski itu hanya berasal dari desing-desing samar. Mungkin tidak, ini adalah kebiasaan yang diturunkan oleh Mamanya Alen?

"Len, yuk bangun. Tante El sudah siap nih. Katanya minta ditungguin sekolah. Jadi nggak nih?"

Seolah baru saja teringat, anak tampan ini mengerjabkan mata. merasa masih cukup buram, ia mengucek berkali-kali dua kelopak mata itu. Terbuka sedikit, ia berusaha menatapku. Alen tampak masih linglung. Dia perlu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, barulah memamerkan senyumnya untukku.

Dan aku tidak pernah kesulitan membalas senyum anak ini. Entah mengapa. Senyumku begitu murah pada Alen.

"Tante El cantik," begitu pujinya.

Aku tertawa. Tidak menyangka akan mendapatkan pujian semanis itu di pagi hari. Yang paling berkesan adalah mata Alen yang ikut berbinar-binar tanpa kebohongan, "Tante El sudah mandi dong. Ya sudah, yuk, bangun. Jadi sekolah kan?"

"Jadi," jawab anak itu bersemangat. "Tas sama sepatunya Alen ada, Tante?"

"Ada," balasku terus menarik Alen untuk segera bangun. "Tante beresin kasurnya Alen. Alen mandi sendiri kan?"

"Air hangatnya?"

"Sudah Tante siapin. Buruan bangun. Keburu dingin nanti."

Anak itu mengangguk. Masuk ke kamar mandi dan membiarkan pintunya terjeblak lebar. Aku mengulum senyum. Sibuk membereskan ranjang Alen, dengan tidak lupa mengawasi anak itu yang berakhir main-main dengan sabun. Kalau tidak kuperingatkan, Alen mungkin akan menghabiskan waktu berjam-jam di dalam sana.

Untuk ukuran anak belum genap enam tahun, kupikir Alen sudah sangat mandiri. Berani tidur sendirian. Bisa menggunakan kamar mandi dengan baik. Hanya urusan makan yang masih sering minta disuapi. Dan menurutku bukan karena dia malas, itu semata karena dia meminta perhatian.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang