Ada yang nungguin saya balas komentar ngga sih? *nggak ada* oke. 😆😆
Kalau si Risa lagi sibuk ngurusin berkas koas, aku juga lg siapin berkas buat magang. Dan entah kenapa lumayan nyita waktu. *malahcurhat*
❄❄❄❄
Sampai matahari tenggelam pun masih tidak ada kabar apapun soal Marisa. Ponselnya masih dalam keadaan tidak bisa dihubungi. Teman-teman dekat Marisa yang berkunjung ke mari sekadar memastikan kabar, juga belum mencium jejak gadis itu di manapun. Padahal Rajendra sudah melaporkan ketidakpulangan Marisa ini kepada pihak kepolisian. Dan rupanya itu tidak cukup membuat hatiku tenang.
Karena sesungguhnya, aku menginginkan sesuatu yang cepat. Rasanya, aku tidak bisa bersabar menunggu para polisi maupun Rajendra bergerak menyisir jalan juga semua tempat. Aku ingin adikku segera kembali. Tidak didukung logika, tapi kurasa aku tidak bisa menyimpan kekhawatiranku lebih lama lagi.
"Mbak El?"
Kupaksakan menoleh pada beberapa teman Marisa yang menemaniku menggantung harapan pada pintu rumah yang tertutup. Tidak hanya Maya, empat orang yang kutemui kala wisuda itu seluruhnya menaruh khawatir yang sama. Setidaknya itu menghadirkan kelegaan dengan cara yang berbeda. Dengan turut andilnya mereka, aku jadi tahu bahwa lingkungan pertemanan adikku cukup baik. Dia disukai teman-temannya, bukan alih-alih dijauhi seperti yang pernah kurasakan.
"Mbak El nggak usah khawatir. Mbak El tahu kan kalau selain jutek, Marisa itu juga pernah ikut taekwondo. Mbak El tahu, kan?" tanya salah satu teman lelaki Marisa yang tadi memperkenalkan diri sebagai Ari.
Aku mengangguk. Masih sanggup mengulas senyum.
"Dulu aja, saya pernah hampir dibanting sama Marisa. Si Marko kalau lagi naik arisan bikin Marisa kesel, juga langsung ditabok bolak-balik sama Marisa. Dia kuat loh Mbak El, tabokannya panas. Jadi saya yakin dia bisa melindungi diri sendiri kok."
"Iya, Mbak. Berani narik satu helai rambutnya Marisa, pasti deh langsung diganjar geplakan sama tuh anak. Karena kulit saya hitam aja yang bikin bekasnya nggak terlihat." tambah pria lain yang sudah pasti bernama Marko.
Tapi itu sudah bertahun-tahun lalu. Sejak sibuk dengan perkuliahan, jangankan ikut latihan, berbagi cerita denganku saja, harus Marisa dan aku rencanakan dengan baik waktunya. Aku takut, Marisa lupa cara mengayunkan kaki dan tangannya. Aku takut dia berhadapan dengan seseorang yang lebih mengerikan. Aku takut dia ketakutan di sana, lalu menyerukan namaku tanpa mendapat jawaban.
"Mbak El, jangan gini." Maya bertingkah. Menggantikan posisi Rajendra yang selalu datang memberiku pelukan. "Semuanya sedang nyari Risa. Mas Jendra bahkan bilang sudah minta salah satu temannya untuk ngehack akun Risa. Sabar sebentar ya, Mbak. Risa baik-baik saja kok. Kami yakin, Mbak El juga harus seperti itu."
Aku menghela napas. Berusaha mengusir hal-hal negatif yang berkecamuk dalam benak. Inginku juga seperti itu. Yakin bahwa adikku tetap baik-baik saja. Tapi itu bukan perkara remeh. Aku dan Marisa punya darah yang lebih kental dibandingkan jenis saudara yang lain.
"Makasih, kalian semua ya? Marisa beruntung punya kalian."
"Kami juga beruntung punya Marisa Mbak El," imbuh satu gadis, yang kalau tidak salah bernama Tika. "Dia suka jadi tukang kasih les saat kami kesulitan ngerjain tugas. Percaya deh, Mbak El. Risa itu orang baik. Kami yakin di manapun Risa berada, tidak ada yang ingin menyakiti dia."
Aku mengaminkan dengan anggukan.
"Untuk itu, Mbak El harus makan sekarang. Mas-nya tadi bilang Mbak El belum makan sejak pagi. Ya, Mbak El?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
General FictionElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...