22 - Tak Bermaksud Melukai

32.9K 4.6K 506
                                    

Komen kalian di part kemarin daebak deh. Jari saya hampir keriting, tapi saya suka loh baca komen satu per satu, lalu balas satu persatu-persatu. Gitu lagi ya? Nyenengin saya dapat pahala loh. 😂😂

❄❄❄❄

Aku tidak perlu ujaran maaf dari Adisti. Tidak perlu juga melihat dia merangkak di lantai untuk mencium kakiku. Aku tidak benar-benar mengharapkan semua itu, hingga sepuluh tahun lalu membiarkan dia pergi tanpa berusaha meminta pertanggungjawaban. Toh, apa gunanya kata maaf jika hidupku sudah luluh lantak menyisakan puing-puing tak bernilai? Sungguh. Kalimat ‘aku minta maaf’ tidak bisa mengembalikan kehidupanku yang sempurna.

Inginku atas Adisti tidak muluk-muluk. Hanya pergi, dan jangan muncul kembali di hadapanku. Terserah dia hidup bahagia atau menderita, aku tidak peduli. Hanya jangan muncul di hadapanku. Terus bersembunyi seperti yang ia lakukan selama ini, kupikir adalah hal yang paling membuatku nyaman.

Karena jika sudah begini rasanya dia seperti hendak mengejekku. Rasanya, dia sengaja ingin membuatku kembali terluka. Padahal, aku merasa cukup berhasil menutup luka sepuluh tahun lalu dengan hari-hari baru. Dan semesta tahu, kedatangannya menguak luka lama hingga kembali terkelupas.

Dengan semua kejahatannya, dia masih saja memiliki semua hal. Hidup serba cukup. Hidup bahagia karena seorang pria selalu ada bersamanya. Ini terasa lucu. Dia yang jahat malah kebagian hidup menyenangkan, sedangkan aku yang teraniaya alih-alih semakin berkubang dengan berbagai macam cobaan.

Siapa yang salah?

Jari-jemariku menjambak rambutku kasar. Merasa sangat tak bertenaga, kuletakkan kepalaku pada lutut yang tertekuk. Tekanan darahku tetiba jatuh turun. Pandanganku berlapis-lapis. Jadi benar kata orang bahwa menanggung perasaan marah itu lima kali lipat lebih melelahkan dibandingkan menikmati perasaan bahagia.

“Minum...”

Seseorang masih keras kepala, meski aku sudah ribuan kali mengusirnya. Seseorang masih keras kepala dengan memaksa daguku tegak juga dua tanganku yang diperintah mencengkeram badan mug yang hangat.

“Pergi.” Kataku lemah. Tapi siapapun tahu, itu adalah bentuk desisan.

“Diminum dulu.”

“Setelah itu pergi.” Tekanku keras kepala.

Dia memilih tidak menyahut. Hanya menatapku dalam-dalam dan kuasumsikan itu adalah sebuah persetujuan. Dia akan pergi, setalah memastikanku meneguh coklat instan ini. Oke, akan kuturuti jika memang hanya ini yang bisa membuatnya segera pergi.

Mungkin terbawa suasana hati, coklat yang seingatku dominan manis kali ini menyisakan pahit kala tercecap lidah. Dan tiap kali lidahku bersentuhan dengan minuman manis ini, otakku langsung tertuju pada pria yang masih menatapku tanpa putus. Sugesti tentang coklat yang katanya bisa memperbaiki mood, telanjur mengakar di dalam sana. Tidak terasa aku sudah menandaskan secangkir coklatku.

Karena sugesti itu, coklat jadi benda ajaib untukku. Sugesti itu membuat sebagian hatiku yang gelap kembali diterpa cahaya.

“Sudah,” laporku sembari meletakkan cangkir. “Kamu bisa pergi.”

Rajendra bisu. Dia hanya menggerakkan bola matanya, tapi tidak dengan dua belah bibirnya, terlebih dengan dua kakinya. Dadaku mengeluh tertahan.

“Maaf kalau aku kasar. Tapi kamu benar-benar nggak punya malu kalau ngotot terus ada di sini.” ujarku tak berhati.

Ekor matanya menyipit. Dada bidangnya jatuh selepas bernapas. Entah apa yang terbayang di otak pria ini? Apa dia tidak lelah mendengar kalimat kasarku dengan bertubi-tubi? Kapan dia akan kesakitan, lalu memutuskan menyerah?

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang