Adisti belum akan muncul dalam waktu dekat ya. Kalau hanya motif dia ngelakuin itu semua, semoga part depan bisa terjawab.
Maafkeun. Kemarin sempet dirombak ulang soalnya, kan?
❄❄❄
Gelaran wisuda sudah berakhir. Marisa dan semua mahasiswa yang beruntung periode ini sudah membubarkan diri dengan senyum sarat kelegaan. Aku dan Rajendra yang berada di lantai dua harus sabar mengantre. Bukan hanya kami yang segera ingin turun, lantas memberikan pelukan hangat pada mereka yang kami banggakan. Semua ingin melakukannya secepat mereka bisa.Jubelan manusia kembali menyesaki halaman sekitar auditorium. Tepuk tangan, rentetan selamat, sampai dengan pekikan-pekikan bahagia memberondong telingaku. Titik paling dikerubungi oleh manusia berada di area photo booth. Setidaknya ada empat spot yang bisa kulihat. Dan keseluruhan tertutupi oleh mahasiswa dan orang terdekatnya yang ingin mengabadikan gambar.
"Telepon coba Marisa, El. tanya dia ada di sebelah mana."
Aku menangguk. Membebaskan tanganku dari genggaman tangan Rajendra lantas mengaduk seisi tas untuk mendapatkan batangan ponsel. Nomor Marisa ada di daftar panggilan cepat, mudah untuk menghubunginya. Dan seperti biasa, anak itu lebih sering mengabaikan telepon, terlebih pesanku. Kebiasaan buruk, yang sering membuatku khawatir.
"Gimana?"
"Nggak dijawab."
"Kebiasaan itu bocah," Rajendra bergumam sebal, cukup paham bagaimana seorang Marisa bersikap. "Mungkin nggak kalau dia ngantre foto di sana?" katanya sembari melempar dagu ke arah photo booth.
"Aku nggak yakin," gumamku sembari mempertajam penghlihatan. Tapi percuma saja, tidak bisa kulihat Marisa di sekitaran sana. "Marisa itu orangnya nggak sabaran. Dia pasti malas desak-desakan di sana."
"Oke. Berarti di tempat lain. Ayo."
Lagi, Rajendra menggapai jemariku. Tanpa daya menolak, terus saja tanganku telah terkubur di dalam jari-jari besar yang menjanjikan kehangatan. Aku mengamati jalinan ini dalam-dalam. Hari ini saja, biarkan aku hidup seperti wanita seumuranku. Yang bahagia dengan keluarga. Yang tampak sempurna karena memiliki mereka yang disayang. Hari ini saja, biarkan aku membohongi diri sendiri.
"Alen?"
"Ya, Pa?"
"Lihat kanan kiri, kalau lihat Kak Risa bilang ya?"
"Kakak nakal?"
"Kak Risa, Len." Koreksiku dan Rajendra bersamaan.
Anak kecil ini tetap tidak mau tahu. Dia pernah menyebut Mamanya nakal, tapi itu bisa dikoreksi dengan mudah. Pernah juga memberikan julukan yang sama pada sang Papa, tapi lagi dan lagi, itu bisa dikoreksi. Berbeda dengan Marisa. Paten sudah panggilan kakak nakal itu. Kuulum senyum geli. Kembali kulempar pandangan pada sekitaran.
"Itu. Di sana," ucap Rajendra suatu waktu.
Hendak kucari arah mana yang telunjuk pria itu sasar. Namun tidak pernah sempat, karena—lagi—Rajendra sudah menarikku. Tangan kanannya menggendong Alen. Tangan kirinya tidak pernah melepaskan tanganku.
Apa dia tidak kerepotan?
"Kakak nakal????"
Marisa rupanya sedang sibuk berswafoto bersama para sahabatnya di area outdoor, dengan background auditorium yang megah. Aku mengenal beberapa dari mereka, Maya yang menemani Marisa tinggal di rumahku jadi yang paling mudah kuberi senyum.
Mendengar pekikan Alen, empat gadis dan dua pria itu serentak menjauhkan diri. Sang pemilik gelar spesial dari Alen, langsung membola tajam, "Kakak nggak ngundang kamu, ya? Ngapain ke sini?" sengitnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
General FictionElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...