21 - Dandelion dan Serbuk Fitnah

30.5K 4.8K 777
                                    


"Mbak El mau ke mana hari ini?"

"Tidur. Kamu?"

"Mau ke kampus. Ngurus berkas buat koas."

Gerakan mengunyahku terhenti. Berbicara koas otomatis melemparkan ingatanku pada Rajendra malam itu. Bukan pada sikap manisnya. Lebih pada utang yang membebaniku. Tapi terserah lah. Aku tidak akan memusingkan hal tersebut. Biar saja aku berhutang, toh nanti akan kulunasi.

Lagipula, jika aku tidak membayar pun rasanya juga bukan sebuah masalah. Rajendra juga tidak akan berani menagihnya. Hidupku hancur karena Adisti, jadi anggap saja ini sejumlah kompensasi yang tak pernah sebanding.

Kami menyelesaikan sarapan kami tak lama kemudian. Bingung hendak beraktivitas apa, jadilah aku mengangkat seember air untuk menyirami beberapa bunga yang tidak lagi pernah kurawat. Hanya ada beberapa pot plastik. Hanya ada jenis mawar dan bunga kertas warna ungu. Juga, satu lagi yang sukses memikatku sepagi ini.

Dandelion. Kapan aku membelinya?

"Dikasih sama Maya itu mbak. Cantik ya?"

Aku mengangguk setuju. Senyumku melebar semringah, "Mbak cuma pernah lihat di gambar-gambar. Baru kali ini lihat dandelion asli. Di mana beli ini?"

"Jangan pikir untuk beli lagi ya mbak," Marisa berujar singkat. Menggapai tanganku yang basah, lantas dibenturkan di dahinya. "Maya bilang, kalau tiba masanya, serbuk-serbuk putih itu akan beterbangan. Jatuh ke tanah, lalu hidup dengan sendirinya. Nggak usah beli, nanti juga banyak sendiri."

Ah. Aku juga pernah mendengar soal ini. Soal seberapa istimewa bunga berwarna putih sebulat dengan bola kapas. Katanya, dia akan tumbuh di mana serbuknya jatuh. Tidak peduli macam tanah. Tidak peduli seberapa banyak hara di dalamnya, dia akan tetap tumbuh. Kupikir, Dandelion ini adalah tumbuhan paling sederhana. Hidup dengan cantik tanpa banyak neko-neko.

"Ya udah, aku pergi Mbak ya?"

"Ya. Hati-hati."

"Jangan banyak ngelamun, supaya mikirnya nggak kemana-mana. Buka laptop aku punya koleksi film di sana. Bye Mbak."

Kuberikan anggukan. Tidak lupa kusisipkan binar baik-baik saja untuk membuat dia segera meninggalkanku dan menyelesaikan semua urusannya. Sejenak, mataku mengekori Marisa dengan motornya. Setelah hilang di balik mobil yang terparkir, barulah aku mengembalikan pandangan pada bunga-bunga.

Bukan. hanya pada dandelion. Pendatang baru yang membuatku terpaku.

Aku berjongkok di hadapan beberapa tangkai bunga satu ini. Mengingat-ingat apa saja yang kutahu soal dia selain dari bisa tumbuh di manapun. Ah, dia punya batang yang kuat. Kalau hanya angin yang hilir mudik, kupikir tak akan bisa mematahkannya. Kupikir hidup juga harus belajar dari dandelion. Kuat, tidak mudah terpengaruh berita. Punya pendirian, tidak boleh semudah itu goyah oleh bujukan. Berdiri tegak, jangan mudah dijatuhkan.

Tumbuhan satu ini masih membuatku terpaku. Sedikit terusik, karena kudengar derap langkah membentur kerikil yang tercecer di halaman. Kuputar leher. Dari bawah, kulihat sepasang kaki berbalut sepatu balet berwarna putih. Aku melihat dress bermotif floral. Lantas...

Iblis.

Spontan, aku meraih gayung. Tanpa melihat, tanganku membuat gerakan melempar. Dalam detik ke sekian kudengar erangan lirih lalu diekori dengan suara berdebum. Kupikir, gayung itu baru saja membentur dahi sang iblis.

Seketika aku berharap bisa mengulangi waktu. Aku tidak akan menyiram tanaman, tapi memotongi rumput. Aku bukan membawa ember sepasang dengan gayung, melainkan gunting rumput yang jelas keras. Mungkin tidak perlu menghunuskan pada perutnya, lempar lalu mengenai kepalanya pun rasanya cukup untuk membuat dia berdarah-darah. Dengan begitu, rasa menghentak di dalam sana pasti akan lebih menjadi.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang