09 - Kesempatan Kedua

38.1K 4.9K 750
                                    

Malam kayaknya saya nggak sempet deh, sekarang sj lah. 😀😀😀

Semoga ngga eneg-eneg amat. 😅😅

❄❄❄❄

"El?"

Ada bongkahan besar yang mengganjal tenggorokan dan otakku. Terlalu sibuk bernarasi dengan batinku yang bisu, tak pelak membuat Fadi berubah jadi tidak sabaran. Pria itu sudah merangkai tanganku untuk jadi satu dengan tangannya. Aduh. Terdengar suara bedug dari dalam jantungku sendiri.

"El?"

Ya Tuhan. Iyakan saja El !!!!

Aku menghela napas, "Gini Mas Fa—"

"Tante El. Alen sudah kenyang. Yuk pulang."

Bocah di dekatku ini kembali sukses membuat Fadi mendesah kasar. Dengan gerakan lemah, dia menjauhkan tangannya dari sekitaran miliku. Sekarang, Fadi yang penuh perhatian tak lagi sungkan untuk menatap wajah polos Alen dengan sengit.

Jelas. Alen sudah mengacaukan segalanya. Dan entah mengapa, aku menahan tawaku sekarang. Rasanya lucu saja.

Pasalnya wajah Alen benar-benar polos. Dia tidak mengada-ada soal sudah kekenyangan. Sekarang saja dia mengeluh soal mengantuk, dan kemudian memutuskan untuk meminta pulang. Anak Rajendra ini terus mengusap-usap perutnya, juga memamerkan cengiran lebarnya padaku. Fadi yang seolah hendak meremukkan meja, tak sama sekali jadi perhatian anak ini.

"Mas Fadi—"

"Lain kali saja, El," jawab Fadi seolah kelelahan. "Siapkan jawaban yang paling kuharapkan ya?"

Aku meringis. Semoga. Semoga saja, otak mode gila ini bertahan dalam waktu yang lama. Semoga tidak ada angin dari arah manapun yang mengaburkan kegilaanku.

"Lain kali, jangan bawa dia."

Tawaku bergemerincing, "siap. Alen, di sini bentar. Tante mau bayar. Jangan ganggu Om Fadi. Oke?"

Alen tampak tidak suka dengan tuduhanku. "Alen nggak ganggu," belanya dengan bersungut.

"Aku aja yang bayar, El."

"Eh, jangan. Aku yang janji mau nraktir dulu. Tenang saja Mas, aku punya uang kok."

"Nggak apa-apa," jawab Fadi dengan mata teduhnya. "Kamu mau datang aja sudah melunasi janjimu. Bayar, tetap jadi urusan cowok."

Yang begini mau disia-siakan, El??

Aku mengangguk saja. Dengan menggandeng tangan Alen, kuikuti Fadi dari belakang. Punggung yang tersembunyi di balik kaos hitam itu sepertinya cukup kokoh. Sepertinya, cukup mewakili gambaran tulang punggung yang kuidamkan selama ini. Aku belum mengenal keluarga dari Fadi, tapi kupikir itu akan lebih mudah dibanding dengan menghadapi keluarga Rajendra yang gila itu.

Tak lama, Fadi meninggalkan meja kasir dan menghampiriku. Dia menyimpan lagi dompet coklatnya, lantas menatapku dengan terheran-heran.

"Makanan kita sudah dibayar. Yakin bukan kamu, El?"

Aku menggeleng, keningku ikut berkerut. "Aku kan sama Mas Fadi terus tadi."

"Iya sih. Lalu siapa?"

"Mbak Kasirnya bilang apa?"

"Cuma bilang pesanan meja kita sudah dibayar. Aku tanya siapa, dia nggak mau jawab."

Otakku berlebihan karena terus mengacu pada satu nama. Mataku sontak berkeliling pada sekitaran rumah makan yang begitu luas ini. Puluhan meja telah diisi oleh banyak kalangan, hanya menyisakan beberapa yang kosong. Hampir seluruhnya bergerombol, atau paling tidak berpasang-pasangan. Hanya sebuah meja yang dihuni oleh satu orang. Satu orang yang kini berusaha mengelabuiku dengan topi dan majalah bolanya.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang