"Tenang dulu." Rajendra berujar lagi. Dia menegakkan punggungku. Mengusap sekali di sana sebelum menenangkan Alen yang rupanya ikut menangis. "Nggak apa-apa. Tante El nggak apa-apa. Sekarang, Alen diam. Shhh. Diam dulu, jagoan."Kali ini aku tidak memiliki gairah untung menenangkan Alen. Bocah itu terus berusaha menghilangkan sesenggukannya, namun aku tidak juga bergerak melakukan apapun. Otakku terus mencari-cari Marisa. Seseorang yang jadi alasan mengapa aku tetap hidup hingga sekarang.
Rajendra memungut ponselku yang berantakan. Dia tidak berujar apapun, tahu-tahu sudah menempelkan batangan itu di telinganya. Desah napasnya pendek, saat tahu tak mendapatkan jawaban.
"Temennya Marisa, kamu punya nomornya?"
"Maya." Jawabku pendek. Cuma dia yang kumiliki kontaknya.
Tak lagi bertanya, Rajendra sudah membuat panggilan berikutnya. Selama menunggu, dia mengusap kepala Alen menenangkan. Tidak lupa melakukan hal yang sama pada tanganku yang bergetar. Aku seolah mati rasa.
"Hallo?" katanya pada seseorang di ujung sana, hingga spontan membuatku melebarkan telinga. "Bukan. Ini saya, Rajendra. Temennya Mbak El."
"..."
"Gini ya, Maya. Sekarang saya lagi di rumahnya Marisa. Sepagi ini dia nggak ada di rumah. Masakan yang El masak kemarin juga masih utuh. El khawatir Marisa nggak pulang semalam, karena sejak kemarin pun Risa nggak pernah ngangkat telepon. Kira-kira kamu tahu di mana Marisa nggak, May?"
"Loudspeaker."
Rajendra mengangguk. Masih menyimak penjelasan Maya sembari memperhatikanku.
"Astaga." Maya memekik, jantungku tetiba berhenti berdetak. "Siang kemarin kami masih ketemu kok, Mas. Jam duaan kami pisah. Marisa nggak ada bilang mau ke manapun. Pokoknya kami pisah, dan saya pikir dia mau langsung pulang. Dan hari ini, kami nggak ada janji apapun."
Mata Rajendra terpejam, "dia pernah cerita sesuatu nggak? Pernah bilang, pengen pergi ke suatu tempat atau diajak pergi sama orang, nggak?"
"Kalau yang ngajak Marisa main itu banyak, Mas. Cuma Marisa emang nggak pernah nanggapin. Atau saya stalking ke akunnya si Risa dulu ya, Mas. Siapa tahu saya dapat sesuatu di sana."
"Oke," jawab Rajendra pendek. Hampir menutup panggilan, namun urung karena teringat sesuatu. "Maya?"
"Ya?"
"Mending kamu tanya ke temen-temen deketnya Marisa dulu deh. Secepatnya ya, May. Atau kirim saya kontaknya supaya saya yang hubungin mereka."
"Saya saja yang ngehubungin mereka, Mas. Sebentar ya?"
Sambungan jelas terputus. Dan aku tidak mendapatkan apapun selain kekhawatiran yang membeludak. Rajendra sudah berganti mengotak-atik ponselnya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Hanya saja aku tahu matanya memamerkan pendar yang sama dengan milikku.
Khawatir. Tidak tenang. Atau apapun sebutan untuk menggambarkan bahwa kami ingin Marisa memberikan secarik kabar.
"Kalau Marisa tidak juga pulang, itu salahmu." Putusku semena-mena. Rajendra diam, tidak terpancing ucapanku.
Dering ponsel membuat pria itu bangkit berdiri. Jadi pelit dengan menerima panggilan itu untuk dirinya sendiri. Rajendra hanya bergumam-gumam singkat juga memberikan instruksi-instruksi pendek. Hanya dalam hitungan detik, dia kembali memutuskan panggilannya. Kembali berlutut di hadapanku.
"Ayo cari Adisti." tembaknya, seolah tahu arah lari otakku. "Kalau benar dia yang mengganggu Marisa, aku akan mengotori tanganku demi kamu."
"Mengotori dengan cara apa?" balasku menantang? "Habisi dia?"
![](https://img.wattpad.com/cover/130447555-288-k674360.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
Fiksi UmumElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...