23 - Kembali dan Tersembunyi

31K 4.4K 386
                                    

Kuangsurkan satu lembar uang pada om ojek yang mengantarku untuk berkunjung ke rumah ini lagi. Setelah memberiku kembalian dengan nilai satu banding limanya, om ojek itu berlalu pergi. Aku... mendadak gugup. Nyaliku menguap entah terbakar apa.

Rumah di hadapanku ini kutinggali berbulan-bulan, dan baru kutinggalkan hanya dalam hitungan hari. Jika dulu aku tidak perlu permisi untuk mengungkit kunci pagar, sekarang aku diserang keraguan. Biar bagaimana pun, aku lah yang keluar bagai maling yang berhasil mendapatkan jarahannya. Pergi begitu saja, tanpa meninggalkan sepatah kata pamit. Dan kembali ke sini, membuatku seperti tak memiliki rasa malu.

Tapi... Alen ingin berbicara denganku kemarin. Meskipun dia berujar membenciku, aku harap itu tidak awet hingga hari ini. Sebagian hati kecilku hampir menolak untuk memikirkan rajukan anak itu. Sayang, aku menyerah jua.

Tarikan napas yang terlepas dari paru-paruku terdengar berat. Aku meletakkan semua harga diriku, saat kuberanikan diri mengungkit pagar. Hal pertama yang menyapa mataku, adalah mobil Rajendra yang terparkir di rumah.

Dia tidak bekerja?

Ah, tentu saja. Kalau dia bekerja, memangnya siapa yang akan menemani Alen sepanjang waktu. Mataku jatuh pada marmer hitam yang kupijak. Cemerlang. Rajendra, membersihkan rumah ini juga?

"Elvira?"

Aku saja tidak ingat kapan tanganku mengetuk pintu. Tahu-tahu pria itu sudah menjulang di hadapanku.

"Aku datang untuk Alen. Bukan yang lain." sambarku cepat.

Rajendra mengangguk, tersenyum. "Aku tahu, ayo masuk?"

Kuhela napas panjang mengetahui reaksi pria ini. Karena rasa maluku sudah kutinggalkan di sembarang tempat, aku melenggang masuk ke dalam rumah yang dulu terisi penuh dengan suaraku dan suara Alen. Sesuatu telah menyerbu jantungku. Rindu. Mungkin semacam aku merindukan senyum dan tawa Alen.

"Demamnya Alen sudah turun, kok. Dia di kamar sekarang, lagi nyusun lego." Kata pria itu, tahu bahwa mataku tengah berkeliaran. "Naik aja langsung. Kamu mau minum apa, El? Es sirup, atau cok—"

"Nggak perlu." Sahutku ketus. Yang telak membuat pria itu bungkam.

Tak ingin mencari tahu seberapa luas sayatan yang kuciptakan, aku bergegas pergi. Meniti satu dua undakan tangga, tanpa susah payah untuk berbalik. Mataku terus tertuju pada lantai dua. Pada Alen, yang kemarin mengikrarkan kebencian. Bagaimana dengan hati bocah itu hari ini? Setelah tertidur, lalu kemudian bangun, dia sudah memaafkanku, kan?

Setengah takut, aku mendorong pintu kamar Alen yang terbuka barang sejengkal. Ada Alen di sana. Seperti kata Rajendra tengah bergulat dengan puluhan lego aneka warna. Alen tidak sendiri, kali ini dia ditemani seorang gadis asing. Dari baju yang dikenakan, aku tahu dia seorang baby sitter.

Syukurlah. Aku mendesah penuh kelegaan.

"Masuk saja, El." Rajendra sudah berdiri di belakangku. Membuatku mau tak mau maju beberapa langkah. "Ini minummu. Kutaro di sini ya? Atau mau minum dulu?"

Lagi, aku tidak hirau pada keramahan seorang Rajendra. Kukumpulkan keberanian, untuk mendekati Alen yang tenggelam dengan permainannya. Langkah sepatuku tak seberapa menghentak. Tapi pengasuh itu mau memberiku mata juga senyum. Sedang Alen, sepertinya belum menyadari kedatanganku. Atau mungkin memang tidak ingin menyadari kedatanganku.

Hingga aku duduk tak jauh dari Alen pun, pria kecil ini tak terusik sama sekali. Aku tahu apa itu. Jantungku yang nyeri seolah tengah membenarkan. Penolakan. Alen... masih membenciku.

"Alen??"

Lihat, pria kecil ini pandai berpura-pura tidak mendengar suaraku. Ah, kupejamkan mata menahan perih.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang