05 - Jera

37.2K 5.1K 358
                                    

Kemaleman sayanya. Maafkeun, saya beberas rumah yang kebanjiran dulu. 😂😂😂

❄❄❄❄

Seorang asisten rumah tangga biasanya bangun pada pukul berapa? Aku lupa memikirkannya semalam. Aku tidak memasang alarm, karena tiap paginya Marisa yang selalu rajin membangunkanku. Jadi terserah saja, jika aku akan mengacaukan pagi Rajendra. Aku hanya asisten baru, semoga Rajendra maklum.

Sepasang mataku terbuka lebar, kesadaran mulai menggelayutiku. Pemandangan pertama yang membuatku tercengang adalah keadaan kamar Alen yang--rupanya--masih gelap gulita. Aku tidak bingung mengapa lampu bisa padam--barangkali Rajendra pulang lantas mematikan lampu. Aku hanya bingung, mengapa aku bisa tidur lelap dalam keadaan sesunyi ini. Ah, mana pula headset yang mengantarku tidur? Pupilku membesar saat kudapati ponsel sekaligus headset itu tergeletak di atas nakas.

Aneh. Semenjak aku terbangun dalam sebuah kamar gelap, cara tidur seperti ini selalu sukses membuatku gelisah. Aku tidak suka kamar yang gelap, aku tidak suka tidur dengan keadaan sunyi. Aku tidak mau bangun dengan keadaan seperti sepuluh tahun lalu. Dimana puluhan uang sudah berserakan di atas ranjang, juga tubuhku yang polos di balik selimut.

Aku harus melihat cahaya, agar tidak ada lagi yang berbuat jahil kepadaku. Aku harus mendengar suara, untuk memastikan bahwa tidak ada siapapun yang mengendap-endap masuk ke kamarku melakukan hal-hal buruk. Sejak kejadian itu, aku meminta otakku terus bersiaga. Aku meminta diriku, untuk tidak pernah tertidur lelap.

Lalu mengapa di kamar ini aku bisa tidur dengan keadaan tidak wajar?

Entahlah.

Kuikat rambutku yang tergerai sejak semalam. Kaki-kakiku meraba dinginnya lantai, mencari keberadaan sandal jepit ukuran besar milik Rajendra yang membuat sepasang kakiku jadi tampak mungil. Seperti yang kubilang, aku tidak menemukan sandal wanita, jadi dengan terpaksa aku harus mengenakan ini.

Kepalaku menoleh pada Alen yang masih tertidur nyenyak. Apa karena dia? Apa karena memiliki teman tidur, perasaanku berubah jadi nyaman. Sejujurnya aku tidak yakin. Kalaupun tidur bersama dengan Marisa, aku tetap tidak lupa menyalakan musik.

Lagi kugelengkan kepala. Berusaha mengeluarkan pertanyaan mengapa aku bisa senyenyak ini. Aku punya kerjaan berat yang menanti. Sebagai babu aku juga harus masak pagi-pagi untuk sarapan majikanku, kan?

Oh, pria itu juga sudah bangun. Aku melihat dia sedang melakukan streching di halaman belakang. Mari abaikan. Wajan lebih menarik dari pada otot-otot yang terlihat basah oleh embun dan keringat itu. Sebagian hati kecilku mendengus ragu.

Untuk kategori rumah tanpa nyonya, kulkas milik Rajendra cukup lengkap. Aku bisa menemukan semua hal yang hendak kumasak pagi ini. Bahkan dia memiliki bihun yang sepertinya baru saja dibeli semalam. Pria itu memang menyukai jenis mie satu itu. Secara tidak langsung dia menyuruhku untuk mengolah makanan kesukaannya.

"Kopi, El."

"Bikin sendiri. Aku sibuk."

"Kopi, El. Seleraku masih sama."

Err, dikata aku penunggu kedai? Kulesakkan tatapan tajam pada dia yang sudah duduk di depan meja dapur. Sepagi ini aku masih tak memiliki daya untuk berdebat. Kembali kuturuti mau tuanku ini. Kopi dengan setengah sendok gula. Tidak ada satupun tentangnya yang bisa kulupakan. Mengenaskan, ya?

"Tambahkan sosis di bihunnya, Alen pasti suka."

"Hm."

"Jangan kasih sawi. Alen nggak suka."

"Hm."

"Ada udang juga dikulkas. Tambahkan, kamu suka itu kan?"

Kembali mataku mendelik pada Rajendra. Setelah meninggalkanku dengan mudahnya, sekarang dia kembali sok peduli? Cih, jangan dikira aku akan tersanjung.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang