28 - Masih Dia, Selalu Dia

61K 4.7K 600
                                    

Ini cerita saya yang ke berapa sih? Pokoknya mah seneng dan lega aja bisa kembali ketemu ending. 😆😆😆

Jadi, komen yang rame ya. Kasih kesan-kesan gitu buat Jendra dan El. Atau buat saya juga boleh. Haha

Enjoy buat kemenangannya Jendra ya.

❄❄❄❄

Kemelut berlalu, hari cerah kembali bertandang mengetuk pintu.

Setidaknya seperti itulah sepenggal kalimat untuk menjelaskan kehidupanku saat ini. Setelah kejadian demi kejadian yang silih berganti menamparku, aku bak menemukan kembali sosok Elvira sebelum dihancurkan oleh Adisti. Murah saat mengumbar senyum dari hati. Mudah saat mempercayai orang-orang baru-meski aku tak benar-benar mengenalnya. Juga, lepas tak melulu terbelenggu sakit dan amarah.

Bukan berarti aku memaafkan Adisti. Soal gadis gila itu, aku masih yakin bahwa mengusirnya dari hidupku adalah sebuah langkah yang tepat. Aku tak perlu mengungkit luka lama tiap kali melihat dia. Dia juga tak melulu harus diserbu rasa bersalah tiap kali bertemu denganku.

Tuhan harusnya juga paham, bahwa kami mesti diberikan dua jalan yang berbeda. Dua jalan yang tak perlu lagi dipersinggungkan. Supaya kami bisa kembali menyusun perca-perca hidup kami yang baru. Supaya kami bisa meninggalkan kapas-kapas penyerap luka di belakang sana.

"El?"

Aku menoleh mendengar panggilan itu. Bibirku tertarik menciptakan sebuah senyum samar. Bukan karena sinis, aku hanya lelah. Benar-benar lelah secara harafiah.

Dia teman baruku, Rini. Sebenarnya tidak seberapa dekat, hanya kebetulan kami menggantungkan rezeki di tempat yang sama. Kebetulan lagi kami seumuran. Bedanya dia sudah bersuami namun belum juga dikarunia buah hati, sedang aku-yeah-masih perawan tua.

"Sopirmu udah nungguin di depan," ujar wanita itu dengan kedipan menggoda.

Aku terkekeh, "bukan sopirku itu, Mbak."

"Oh, pacarmu kalau gitu."

Tawaku lebih bergemerincing karena mendengar itu. Terlalu sering aku mendengar godaan semacam ini sejak Rajendra semakin kurang kerjaan dengan menyempatkan diri untuk mengantarkanku pulang tiap malamnya. Datangnya bukan hanya dari Rini. Pak Agus dan Bu Yanti-orang tua Wulan-ikut menyumbang suara untuk membuat pipiku sukses merona.

Sekarang, sepasang bosku sudah pulang dengan segepok uang hasil menjaja kain hari ini. Semua tumpukan baju telah kembali rapi dalam rak-rak tempel tanpa pintu. Helaian-helaian kaos hingga dress aneka motif juga sudah tergantung sesuai dengan susunannya. Aku bangun dari dudukku, kulihat Rini belum selesai dengan bagiannya.

"Nggak usah bantuin," tahannya ketika aku hendak meraih sebagian pekerjaannya. "Sana pulang. Udah ditungguin itu."

"Dia terbiasa nunggu kok, Mbak. Aku bantuin ini dulu."

"Kalau kamu nggak kasihan sama dia, kasihan lah sama anaknya kalau disuruh nunggu Papanya kelamaan." Tambah Rini lagi, lantas menarik selembar ripped jeans yang siap kulipat. "Tinggal dikit doang ini. Sana pulang."

Niat baikku ditolak dengan halus. Ya sudah.

Aku memamerkan cengiran lebar. Berlari menuju meja kasir menarik tasku dari dalamnya. Teriakanku mewakili pamitku pada Rini. Dua kakiku melaju dengan sedikit berlari untuk menghampiri Rajendra yang sudah tersenyum lebar di balik kaca mobil yang dibiarkan terbuka.

Bibirku tertarik dengan sendirinya. Tak lebih dulu permisi, aku meloncat masuk ke dalam mobil. Mataku sontak menyorot kursi belakang yang kosong, "Alen mana?" tanyaku.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang