15 - Cita-cita Kita

33K 4.7K 446
                                    

Hari besar untukku dan Marisa datang juga.

Adikku yang dulu hanya bisa menangis, sekarang sudah dewasa dengan segala pencapaiannya. Adikku yang dulu paling susah diperintah untuk mandi, pagi ini teramat cantik dengan kebaya warna biru pastel hadiah dari Rajendra. Marisa menunggu dengan tidak sabar tibanya momen ini. begitu pun denganku, mengharu biru memandangi adikku yang mengagumkan dengan topi toga di atas kepalanya.

"Mbak El?"

"Ya?"

"Aku harus segera nyari duduk. Mbak El mau masuk nanti atau sekarang?"

"Nanti saja lah. Sana duluan."

"Duluan ya?" pamitnya, aku balas mengangguk. Sebelum benar-benar pergi menyusul teman-temannya Marisa lebih dulu memberiku pipiku sebuah kecupan, "Makasih buat perjuangannya Mbak El. Love you."

Ah. Kelopak mataku rasanya sudah berair. Di dalam sana, hatiku serasa ingin meledak. Aku terlalu bahagia hari ini. Ada rasa puas yang merajai sudut-sudut batin. Ada perasaan lega yang luar biasa karena tahu kerja kerasku berbuah nyata.

Tapi aku juga sedikit picik hari ini. si hitam dalam batin terus mencemoohku tanpa tega. Pertanyaan pertanyaan tanpa jawaban membuat si putih kian tergeser. Mengapa aku tak seberuntung Marisa? Mengapa aku tak memiliki kesempatan selayaknya yang dimiliki Marisa? Mengapa aku gagal di tengah jalan, sementara Marisa lancar sampai akhir?

Kaki-kakiku mendadak lemas tak bertenaga. Aku bergerak mencari kursi. Kutemukan satu, kukuasai seorang diri. Aku menghela napas dalam, mengusir sesak yang menghimpit. Dua mataku terus jatuh pada kebahagiaan mahasiswa yang hendak berpesta hari ini. Sakit. Ada beberapa jarum yang menusuk jantungku.

Dalam keadaan semacam ini, aku teringat pada Papa. Bukan ingin menyalahkan beliau karena memintaku berhenti kuliah, aku tahu menyalahkannya bukan suatu tindakan yang terpuji. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Mengapa aku tidak mandiri sejak lama? Mengapa aku terus bergantung pada kerja keras Papa dan buta oleh apapun?

Karena andai aku bisa sekuat ini dulu mungkin aku tetap bisa menyelesaikan kuliah yang baru saja kumulai dengan usahaku sendiri. Aku tak melulu harus bergantung pada kebaikan hati Papa, aku bisa melakukannya sendiri. Dan untuk cita-citaku yang kandas, aku yang bersalah. Aku terlalu mudah menyerah. Aku yang tidak pernah berjuang untuk sebuah pencapaian yang begitu kuidamkan.

"Tante El?"

Seolah ada Alen yang baru saja memanggilku. Aku menutup mataku frustrasi. Tidak ada Alen di sini. Anak menyebalkan itu ada di sekolahnya bersama sang Papa yang sengaja mengambil cuti demi bisa membebaskanku.

"Elvira?"

Tuhan. Aku memang mendekati gila hanua karena mengingat cita-citaku yang kandas. Jadi tolong, singkirkan lebih dulu suara Rajendra dari otakku yang penuh dengan beban ini.

"Elvira, kamu kenapa?"

Suara berat itu kembali memasuki gendang telingaku. Bahkan aku merasakan sebuah sentuhan di pundak. Merasa janggal, aku membuka mata lebar. Hampir saja aku terjengkang karena menemukan cengiran lebar dari Alen, juga kernyitan dalam dari Rajendra.

Ini nyata. Aku tidak berhalusinasi?

"Tante El cantik," puji Alen yang entah harus kutanggapi bagaimana. "Iya, kan, Pa?"

Rajendra menangguhkan jawabannya. Lebih dulu menelisik middy dress kombinasi batik yang kukenakan, juga riasan cukup lengkap pada wajah. Dia tersenyum, "Cantik." Matanya ikut berbicara dengan tegas.

Terima kasih pujiannya. Cukup hatiku saja yang mengembang. Pipi merah karena blush on ini rasanya cukup untuk menutupi aku yang malu-malu kucing setelah mendapatkan tatapan terkagum-kagum dari sepasang Papa dan anak--yang memang ahli membolak-balikkan perasaanku.

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang