27 - Adil Untuk Kita

37K 4.7K 498
                                    

"Kakak Nakal mana?"

"Kakak Risa, Len?"

Bocah bermata bulat ini mengerucutkan bibirnya sebal, "Kakak Risa nakal mana?" tambahnya mengoreksi.

Aku mendengus. Menarik toples kacang bawang yang habis dijajah oleh anak ini. Perut kecil itu pastilah memiliki usus yang sangat panjang. Kurang dari lima jam dia berada dia berada di rumahku, entah sudah berapa banyak kue dan snack yang ludes Alen kemil. Uh. Aku gemas ingin menendangnya keluar. Jadi kuharap, Rajendra segera datang untuk membawa anak ini pulang.

"Kakak Nakal mana Tante El?" ulangnya lagi mengejar jawabanku. Mengejar pula toples kacaku.

Aku menghela napas, menelan kesal. "Pergi." Jawabku pendek, bukan dalam artian tengah mengusir Alen, ya?

"Pergi mana?"

"Rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

Rasanya gemas, aku mengambil satu lengan Alen dan berpura-pura hendak menggigitnya. Dia tentu saja meronta. Tawanya terurai dengan keras. Kaki-kaki pendeknya bersiap melarikan diri. Aku menahannya dengan pelukanku. Setelahnya, dia bergelayut bebas di sana. Televisi yang tengah menyiarkan salah satu kartun kesukaan Alen, tak lagi seberapa menarik untuk diperhatikan dengan saksama.

"Kakak Nakal kapan pulang, Tante El?" tuntutnya tanpa puas.

Aku memicingkan mata, "kenapa nanyain Kak Risa terus, hm? Kangen?"

Dia menggeleng, "Kakak Nakal bilang mau kasih Alen coklat. Mana?"

Oke. Hubungan Alen dan Marisa memang sudah lumayan baik. Adikku itu berhenti menatap garang Alen, alih-alih sering memancing teriakan kesal anak ini dengan sengaja. Dan Alen memang murni jiplakan Rajendra, wajar jika tidak bisa melepaskan begitu saja janji yang sudah dibuat dengannya. Kangen pada Marisa, itu masih seperti ingin melihat kuman dengan pelupuk mata—jauh.

"Nanti tanyakan sendiri kalau ketemu sama Kak Risa ya?" balasku dengan halus, Alen mengangguk tak lagi mendesak. "Alen udah ngantuk belum? jam delapan loh."

"Alen bobok sini, Tante El?"

Aku menggeleng, "Nanti dijemput sama Papa. Besok kan Alen sekolah. Seragam dan sepatunya kan di rumah, jadi Alen nggak usah bobok di sini ya?"

Mata hitam nan cerah itu kembali berulah, "Tapi Alen kangen."

"Kangen Kak Risa?"

Dia menggeleng. Bibirnya maju terkerucut, "Kangen Tante El, aja."

Mengerti apa bocah ini soal rindu? Aku terkikik geli, lalu mengayunkan tubuh Alen yang masih melingkar di tubuhku. Sebagian hatiku bersorak girang pada keadaan ini. Sikap Alen ini benar-benar sukses membuatku tersipu-sipu. Siapa sih diriku ini?

Sebuah ketukan pada pintu mengalihkan mataku. Pintu utama yang memang kubiarkan dalam keadaan terbuka menampilkan sesosok pria yang beberapa waktu belakangan menghilang dari mata juga pikiran. Sungguh, aku hampir tidak pernah memikirkan dia.

"Om Nakal?"

Bisa ditebak, bukan?

Pria itu menarik senyum. Matanya melemparkan tatapan ganjil pada posisiku yang tengah memangku Alen. Bertemu dengannya setelah semua hal itu saja cukup untuk membuatku salah tingkah. Lebih-lebih dengan posisi memangku Alen yang sempat Fadi curigai akan jadi anak tiriku nantinya. Entah, seperti apa rona wajahku saat ini.

Aku berdeham. Menarik semua kesadaranku yang tercecer, "masuk Mas Fadi." Permisiku pada dia yang mulai melepaskan sepatunya. "Maaf, agak berantakan. Alen habis belajar."

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang