Elvira balik. Sabar sama dia dan drama yang ada di sekitarnya ya??? 😀😀😀
❄❄❄❄
"El? Kamu apakan rumahku?"
Teriakan itu mengudara begitu kudengar pintu ruang tamu berderit. Aku dan Alen bertukar pandangan sebentar, dan entah mengapa anak itu langsung meloncat jauh dariku dan beberapa dos yang berisi banyak foto.
"Apa-apaan kamu, El?" teriak Rajendra lagi.
Terheran-heranlah aku. Sebagai babu, aku hanya berusaha mempercantik rumah ini. Sungguh aku tidak bermaksud jelek. Lantas mengapa Rajendra tampak begitu murka? Wajahnya memerah, matanya membulat. Kulirik Alen yang seolah mencuci tangan dari masalah. Pura-pura sibuk dengan lava cake juga kartun kucing dan tikusnya, supaya tidak kebagian amukan Rajendra.
Pintar sekali. Batin kecilku mendengus hebat.
"Apa sih?" keluhku tidak paham. "Aku hanya memajang foto."
"Dan untung apa kamu memajang foto dan semua lukisan itu?" tukas Rajendra masih mendesis.
Tidak ada untungnya, yang ada aku kelelahan sekarang. Ini permintaan Alen saat dia mengikuti langkahku ketika meletakkan beberapa barang di gudang. Ia melihat satu dos besar yang berisi semua foto, lantas merengek padaku untuk membantu memajang semua kenangan bersama orang tuanya itu. Secara bersamaan aku melihat lukisan yang bersandar mubadzir pada dinding, maka sekalian saja kupajang semua.
"Ya kalau rumahmu cantik kan bagus. Aku bosen lihat dindingnya yang polos." belaku santai.
"Ini rumahku, ingat???"
Ingat, aku hanya babu di sini.
"Dan kamu baru saja merusak semua dindingku, El?"
"Siapa yang merusak. Aku cuma--Eh lepasin..."
Pria itu lebih dulu mencengkeram pergelangan tanganku, menggeretnya dengan paksa. Dia menunjukkan serpih-serpih kecil yang betebaran di atas sofa ruang tamu juga di tepian lantai. Seketika saja meringislah aku.
"Tidak begini caranya," kata pria itu seolah menahan emosi. "Aku hargai niat baikmu. Tapi berikutnya, kalau kamu pengen mempercantik rumah ini bilang, biar aku yang ngelakuin. Cewek kayak kamu pasti asal-asalan saat megang palu."
Err, pria ini tidak tahu saja keahlianku. Semenjak Papa meninggal dan hanya ada aku serta Marisa di rumah, aku berubah menjadi begitu mandiri. Jangankan hanya menempel figura dan lukisan, memperbaiki kursi yang reyot pun aku sanggup.
"El, ngerti???"
Kuanggukkan kepala, "Maaf."
Pria itu menghela napas dalam, lantas melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tanganku. Seketika hangat yang menjalar-jalar tadi lenyap. Menyisakan sesak yang tidak juga bisa kumengerti. Kugelengkan kepala keras. Jangan berharap jika tidak ingin kecewa, tekanku pada hati yang mudah sekali berubah-ubah.
Berikutnya Rajendra sudah naik ke atas sofa, berusaha menurunkan satu figura besar yang membutuhkan banyak sekali perjuanganku untuk bisa terpasang pada dinding berwarna putih itu. Bukan masalah berat figuranya, ini lebih pada perasaan tidak enak yang menyusup begitu saja. Figura dengan bingkai emas itu mengemas dengan cantik potret pernikahan Rajendra dan seorang wanita rupawan.
Hati mantan mana yang tidak nyes?
"Jangan dilepas. Itu Alen yang minta." ucapku membuat gerakan Rajendra terhenti.
Pria itu berhenti untuk sejenak. Menatapku tajam, lantas mengabaikan permintaanku. Tidak lama, figura itu benar-benar hengkang dari dinding. Menyebalkannya, hatiku terbelah jadi dua. Sebagian kegirangan, sebagian lagi kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
General FictionElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...