14 - Semahal Kepercayaan

34.8K 4.7K 521
                                    


Aku mau pergi.
Nggak mau bawa Alen, jadi Alen bagaimana?

Tn. R
Mau pergi ke mana?
Aku nggak bisa bawa Alen ke kantor. Punya solusi?

Punya.
Mamanya Alen, dia pasti bisa kan?

Tn. R
Dia sedang di luar kota.
Lagipula, kalau dia bisa jagain Alen, tidak mungkin dia rela begitu saja saat aku meminta hak asuh Alen.

Jadi bagaimana?

Rajendra tidak langsung menjawab. Bahkan dia tidak langsung membaca pesanku. Aku menghela napas. Melirik lingkupan erat jemari Alen pada tanganku, juga Fadi yang sudah menungguku menyelesaikan ini sejak tadi. Lagi-lagi aku dihadapkan pada pilihan yang sukar.

"Gimana?"

"Sebentar, Papanya Alen belum jawab."

"Papa kenapa, Tante?" Alen ingin tahu.

"Nggak apa-apa. Sana main perosotan dulu, Len."

"Nggak mau. Alen mau jagain Tante."

Aku mendengus geli, mengacak rambut Alen gemas. Berbeda denganku, Fadi alih-alih mendengus kesal. Hari ini dia kembali mengajakku bertemu. Dia ingin berdua saja. Pembelaanku soal orang tua Alen yang sibuk, tak membuat kemauan pria ini bisa ditawar. Absolut. Dia ingin berdua, tanpa ada gangguan anak kecil ini.

Datangnya sebuah pesan, menghasilkan getaran khusus. Aku baru saja hendak membaca pesan itu saat tiba-tiba nomor Rajendra melakukan panggilan. Panggilan itu kuangkat begitu membuat jarak bersama Fadi. Bukan apanya. Aku takut dia terkejut karena nadaku yang berubah sinis.

Ah, sekadar informasi. Fadi tidak tahu bahwa Papanya Rajendra adalah mantan kekasihku.

"Hallo?"

"El, mau pergi ke mana?"

Aku menggigit bibir, "jalan sama Mas Fadi."

"Fadi?" Rajendra terdiam sebentar. "Nggak bisa ditunda sampai akhir pekan."

"Nggak bisa. Dia maunya sekarang," bantahku sebal. "Jadi bagaimana?"

"Ya sudah." Rajendra terdengar menghela napas. "Salah satu juniorku merekomendasikan sebuah day care. Alamatnya sudah ku sms kan tadi. Coba bujuk Alen, siapa tahu mau kamu tinggal di sana. Ngomong-ngomong, mau pulang jam berapa?"

"Urusanku dong. Apa aku nggak boleh punya privasi?"

"Iya, privasi kamu, El," balas Rajendra pasrah. "Aku nanya, juga untuk memastikan kapan harus menjemput Alen. Jam empat mungkin aku sudah bisa keluar kantor. Jam segitu kamu sudah pulang dan bisa jemput Alen, belum?"

"Belum."

"Oke. Aku yang jemput Alen. Jadi, mau pergi sampe malam?"

"Bisa jadi."

"Ya sudah. Hati-hati ya. Kalau butuh jemputan, sms saja."

"Hm." gumamku malas. "Jangan nguntit lagi!" tekanku, mengingat kejadian saat Rajendra diam-diam memata-matai pertemuanku dan Fadi dulu.

Peringatanku dibalas dengan tawa renyah di ujung sana. Dia seolah tidak ada beban. Tidak seperti kali pertama saat aku meminta izin untuk menghabiskan waktu di luar bersama pria lain.

"Nggaklah," putusnya dengan keyakinan. "Pertama, kamu nggak ngasih tahu mau pergi kemana. Kedua, aku percaya sama kamu."

"Cih."

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang