Karena satu dan dua hal, saya nggak bisa rajin2 update sekarang. Maafkeun ya??? 😭😭😭
Tandai typonya. Sabar dengan alurnya.
❄❄❄❄
Sudah dalam keadaan terburu-buru pun, aku harus kembali memanjangkan usus akibat macet. Bukan karena aksi demo mahasiswa yang tumpah ke jalan raya, ini hanya karena ada lampu merah tepat di sebuah ujung tanjakan. Sudah harus memelankan laju, jalanan yang sempit, ditambah dengan tidak boleh melepaskan rem tangan benar-benar sukses membuatku jengkel setengah mati sore ini.
Tidak cukup dengan terjebak macet, ponsel yang kusimpan dalam saku juga terus berteriak dengan keras. Kuabaikan, karena aku bisa menebak pasti bahwa panggilan ini berasal dari Marisa. Sekalipun sudah bergelar sarjana, dia tetap adik kecilku. Dia mungkin sedang panik, sedang ketakutan, sedang bingung mencari jalan keluar atas masalahnya sekarang.
Kuhela napas. Kuputar gas motor putihku makin dalam. Keadaan seperti ini membuatku seolah tak takut mati, kebut sana salib sini. Berkali-kali mendapatkan klakson, berkali-kali mendapat umpatan, berkali-kali harus mengerem mendadak, tak sama sekali membuatku kapok. Yang terpenting bagiku adalah segera sampai di rumah sakit, lekas menenangkan Marisa. Di dunia ini, cuma dia yang kupunya. Di dunia ini, cuma dia yang membuatku merasa sangat berharga.
Hampir lima belas menit kemudian, aku tiba di rumah sakit yang Marisa sebut. Kakiku berlari tunggang langgang. Menemukan UGD yang dikerumuni manusia, juga si gadis tinggi dengan rambut panjang menyentuh pinggang itu di sana.
"Ris?"
Marisa mengangkat kepala. Mendapati aku berdiri di sini, gadis itu terus menubrukku. Tangisnya pecah, isak kecilnya seolah sedang mengadu betapa takutnya ia atas kejadian ini. Kutepuk-tepuk bahunya lembut, meminta dia untuk segera tenang.
"Aku nggak sengaja, Mbak El. Anak kecil itu yang ceroboh. Dia..."
"Yuk ke taman. Suasana di sini nggak bagus untuk bercerita."
Tak ada bantahan dari Marisa. Setelah lebih dulu menghapus jejak basah di matanya, gadis itu mengikuti langkahku. Di perjalanan menuju taman, aku melewati sebuah kafetaria. Kakiku berbelok, sementara punggung Marisa kudorong agar pergi terlebih dahulu. Air mineral dan beberapa batang coklat murahan jadi pilihanku.
"Nih, minum dulu."
Marisa mengangguk, meneguk air mineral itu hingga habis setengahnya. Napasnya yang tadi tersengal, sekarang perlahan teratur. Berganti aku yang tidak keruan rasanya. Bayangan tentang keluarga korban yang meminta ganti rugi biaya rumah sakit membuatku seketika pening. Apa yang harus kulakukan sekarang?
"Mbak?"
Kutolehkan kepala, "lebih baik?"
Gadis itu mengangguk, menghirup udara sekali lagi. "Aku nggak kebut-kebutan, Mbak. Aku bahkan cuma jalan 35 di daerah yang memang terdapat banyak sekali orang menyeberang itu. Aku jalan di pinggir, dan anak itu tiba-tiba nongol di depanku. Aku udah berusaha ngerem, Mbak, cuma tetep aja ketabrak."
"Dia, anak-anak?"
"Anak TK. Dia masih pakai seragam," jawabnya.
"Terus, ada orang tuanya atau tidak?"
"Ada," gadis itu mengusap rambutnya yang kusut. "Mamanya. Aku bahkan sudah dijambak. Sudah dimaki-maki."
"Sabar," kataku sembari mengusap lengan Marisa. "Jadi bagaimana kabar anak itu sekarang, parah nggak?"
"Sekilas cuma lecet. Cuma dia jatuh cukup keras dengan keadaan miring, bisa jadi... ada retak tulang dan sebagainya?"
Bunuh saja aku sekarang juga. Kugigit bibirku begitu kuat. Menahan teriakan yang hampir saja melonglong keluar. Jika sampai patah tulang, apa yang harus kulakukan? Apalagi yang harus kujual untuk menyelesaikan masalah ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Masih) Yang Terindah
Ficção GeralElvira. Wanita dewasa yang harus terlibat dengan rutinitas gali lubang tutup lubang. Dia punya cita-cita besar, dan tidak ada masalah dengan meletakkan sejenak harga dirinya demi tergapainya sebuah niat megah itu. Tidak ada yang boleh menggagalkan c...