26 - Ritme Baru

31.9K 4.3K 369
                                    

Setelah mengobrak-abrik seluruh ingatanku yang terpinggirkan, kutemukan satu cerita bersubjek Alfa. Kakak kelas Marisa, yang dulu sangat dielu-elukan. Kak Alfa yang ramah. Kak Alfa yang jago kimia dan biologi. Kak Alfa yang punya mimpi besar—menemukan sebuah ilmu yang hebat untuk kemaslahatan masyarakat di masa yang akan datang.

Untuk semua decakan wah yang melekat pada nama pria ini, dulu Marisa tidak berhenti mengoceh tentangnya. Selalu menerawang dengan pipi merona tiap kali bercerita tentang pria muda itu. Sering sekali, hingga tak jarang menggugah keinginanku untuk menggoda adikku itu.

Dan pikirku itu tak lebih dari cinta monyet, suka dengan nada bercanda ala SMA. Karena setahun berikutnya, Marisa mulai jarang bercerita soal Alfa yang pindah ke luar kota. Gadis itu mulai punya dunia baru, di mana tiada nama Alfa di dalamnya.

Jadi, tentu saja aku terheran-heran saat Marisa sepontang-panting itu begitu mendengar kabar tentang Alfa yang sakit. Dia sempat pulang, tidak sempat makan dan ganti baju terus saja melajukan motornya ke luar kota.

"Dia kena kanker paru-paru, Mbak. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Peluang bertahan hidupnya juga sangat tipis."

Itu sepenggal kabar yang Marisa ucapkan. Dengan mata berkaca-kaca, dengan senyum sendu yang kentara. Marisa tidak perlu mengucapkan bahwa hatinya gundah memikirkan itu, aku tahu Alfa bukan sekadar kakak kelas.

"Padahal dia nggak ngerokok. Dia cuma kena imbas. Dia malang karena berbagi kamar dengan temannya yang perokok akut."

Lidahku kelu. Aku hanya bisa mengelus pundaknya.

"Sampai di rumah sakit lusa kemarin, aku menyaksikan sendiri gimana Kak Alfa kepayahan cuma sekadar untuk bernapas. Bernapas, Mbak. Yang nggak perlu kita ingat, itu akan terjadi dengan sendirinya." Dia mengadu dengan menggebu-gebu. "Dia susah sekali melakukan itu. Ibunya yang cukup renta hanya bisa nangis. Aku nggak pengen nangis sebenarnya, cuma itu keluar gitu aja."

"Aku nguat-nguatin diri sendiri. Adik Kak Alfa udah bela-belain DM aku, masa iya aku kalah di depan pintu. Kakiku harus gerak. Kak Alfa harus lihat aku. Entah apa maksudnya, pokoknya dia harus lihat aku." Marisa tersenyum lemah lagi. Aku ingin memintanya berhenti. Aku tidak ingin dia bercerita soal luka. "Dia senyum setelah sesak napasnya mereda. Dia terbatuk-batuk sambil nyebut namaku. Aku nggak denger suaranya, tapi aku tetep senyum."

"Sepanjang itu aku cuma nemenin Kak Alfa, Mbak. Bantuin ibunya mantau kondisi, ngegantiin ibunya nyari dokter. Aku kalut, Mbak. Nggak kepikiran apapun selain mastiin Kak Alfa masih punya detak. Lebih-lebih pas dia kejang-kejang, sudah, otakku cuma bertahan di sana. Aku nggak kepikiran apapun lagi. Aku bodoh, karena sama sekali nggak kepikiran soal Mbak El yang mungkin bingung nyari aku. Maaf, Mbak El. Maaf."

Senyumku menyamai senyuman Marisa. Kuhapus jejak basah yang mebelah pipi adikku. Aku tidak pernah menyalahkannya. Aku selalu percaya, dia tidak pernah dengan sengaja membuatku kelimpungan. Dia punya masalah. Aku harus cukup mengerti, dengan keberaniannya untuk menyelesaikan masalahnya seorang diri.

"Jadi, nanti mau nginep lagi di rumah sakit?"

"Aku nggak tega, ninggalin Ibu sama adiknya. Mbak El nggak apa-apa sendirian di rumah?"

Aku mengangguk, "Dia kenal sama Mbak, nggak?"

Marisa menggeleng, "Aku sama dia, belum sedekat itu dulu. Aku nggak pernah cerita soal Mbak El. Kenapa memang?"

"Salam buat dia dan Ibunya, ya? Semoga dia bisa segera sembuh."

Bola mata Marisa terbelalak. Dia meremas tangannya satu sama lain, "itu yang paling menjengkelkan Mbak. Dia percaya omongan dokter. Dia nggak lagi minta agar didoain cepet sembuh. Dia hanya minta segera dipermudah jalannya. Uh. Rasanya aku pengen nonjok dia saat itu juga."

(Masih) Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang